Minggu, 22 Mei 2011

Tentang Revolver: Album Puncak The Beatles

Disclaimer: saya bukanlah penggemar the Beatles. Jutaan orang sudah memuja kelompok musik dari Liverpool ini. Jutaan kopi dari semua album kelompok ini ada di hampir semua rumah tangga pecinta musik di Barat dan di Timur. Ribuan buku, disertasi, tesis dan artikel sudah pernah ditulis tentang musik kelompok ini. Dan saya tidak keberatan dengan semua itu.




anakamalam-Meminjam kata-kata penulis musik dan novelis Chuck Klosterman tentang keberadaan band yang kurang terlalu dihargai (underrated) atau terlalu berlebihan dihargai (overrated), bagi saya the Beatles adalah band yang memang sudah pada tempatnya dinilai (properly rated). Kelompok musik ini tidak saja produktif namun luar biasa bermutu. Beberapa waktu yang lalu Remy Sylado bilang ke saya kalau John Lennon adalah jenius kelas satu yang tidak bisa dicari gantinya—pernyataan yang tidak terlalu mengejutkan dari seseorang yang mengganti namanya dengan nama baru yang didasarkan kepada kord pertama lagu the Beatles, “All My Loving”. Remy dengan ringan juga bilang kalau the Beatles adalah salah satu dari 4B, Brahms, Beethoven, Bach.
Hampir empat dekade setelah band—yang pernah mengklaim dirinya lebih besar dari Yesus—ini membubarkan diri, majalah Rolling Stone Amerika Serikat masih perlu menulis sebuah cerita sampul tentang penyebab bubarnya kelompok ini, meski tanpa ada hal baru yang cukup penting untuk diceritakan. Perlakuan istimewa semacam ini juga membuat agnostisisme saya kepada the Beatles menjadi semakin mendapat alasan; kalau Rolling Stone saja masih mau menulis kelompok ini setelah 40 tahun berlalu, kelompok tersebut tentu saja telah diberhalakan sampai pada taraf yang berbahaya. Dan menulis tentang the Beatles pada akhirnya adalah sebuah tindakan sia-sia.

Namun bertepatan dengan dirilis ulangnya semua album the Beatles dalam bentuk CD yang telah mengalami perbaikan kualitas suara (remastered), ada baiknya saya berbagi cerita tentang album the Beatles Revolver, album yang paling kurang mendapat perhatian (underrated) meskipun ini menurut saya adalah album terbaik dan paling sempurna dari the Beatles.

Hubungan saya dengan Revolver seperti kembali ke titik awal beberapa hari yang lalu. Saya mendengar album ini pertama kali, mungkin 25 tahun yang lalu, dari sebuah kaset yang saya amankan dari mobil paman saya, seorang aktivis mahasiswa pada zamannya. Nah, beberapa hari yang lalu saya membeli album ini dalam bentuk kaset dari sebuah toko musik di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Saya sebenarnya sedang mencari-cari album perdana Nirvana, Bleach—yang barusan di rilis ulang dalam bentuk piringan hitam (yang berwarna putih) untuk pasar Amerika Utara. Di Indonesia album Bleach nampaknya sudah tidak dicetak lagi, namun secara tidak terduga saya menemukannya dalam bentuk kaset di sini. (Untuk keperluan menulis artikel tentang kemandegan kritik seni di Indonesia, saya belakangan mengunjungi hampir semua toko musik besar di Jakarta, namun tidak bisa menemukan Bleach dalam bentuk CD atau kaset apalagi piringan hitam).

Agak menarik juga kalau saya menemukan Revolver ketika saya sedang mencari Bleach, karena kedua band ini walaupun berbeda secara sound dengan sangat jauh, kedua jenius kelompok ini John Lennon dan Kurt Cobain terkenal memiliki kemampuan menciptakan nada-nada bernas beraroma (atau berirama) pop. Penggemar Nirvana tentu tahu legenda bahwa Cobain—di sela-sela sesi rekaman untuk album Nevermind—mendendangkan lagu “Julia” sambil memainkan gitar akustik.

Kembali ke soal Revolver, 25 tahun yang lalu album ini telah meninggalkan kesan yang kuat, dan ini mungkin adalah salah satu alasan kenapa saya jatuh cinta ke musik rock ‘n’ roll—meskipun masih ada misteri besar yang masih belum bisa saya jawab adalah kenapa saya pada akhirnya tidak memberhalakan the Beatles. Waktu itu saya masih anak kecil, namun saya segera bisa tahu bahwa Eleanor Rigby adalah musik yang tidak biasa. Sebuah lagu di dalam album rock yang seluruh instrumentasi dikerjakan dengan alat musik gesek a la chamber music?
Beberapa waktu yang lalu saya mengetahui setelah membaca buku Alex Ross, The Rest Is Noise: Listening to the 20th Century bahwa lagu ini adalah hasil nyantrik Paul McCartney mendengarkan karya komponis Jerman Karlheinz Stockhausen. Secara teknis, "Eleanor Rigby" juga sudah sangat maju, alat musik gesek yang menyayat di sebelah kanan dan vokal McCartney di sebelah kiri dan hanya pada beberapa titik, vokal McCartney menyatu di tengah bersama alat musik gesek. Ini adalah penggunaan efek stereo yang paling efektif. Bagi saya ini adalah lagu terbaik McCartney, jauh lebih baik dari "Let It Be".

Revolver di hasilkan di tengah puncak kreativitas studio the Beatles, diapit oleh Rubber Soul yang masih agak malu-malu bereksplorasi dan Sgt. Pepper’s Lonely Heart Club Band, yang eksesif itu. Di album ini kita masih bisa mendapatkan the Beatles sebagai band rock ‘n’ roll murni yang baru saja keluar dari garasi, seperti di lagu “Taxman”, sebuah lagu yang sangat politis yang secara mengejutkan di tulis oleh si pendiam George Harrison. Jika tidak sedang memberi ketukan ritme gitar yang kelak menjadi inspirasi bagi band power-pop seperti the Knack, Big Star, dan the Posies, gitar solo Harrison menyalak dengan nada nada tinggi yang garang.
The Beatles di album ini sudah sedemikian maju sehingga mampu memutar terbalik gitar solo Harrison di “I’m only Sleeping” menjadi sebuah suara gitar dari dunia mistik. Berbicara tentang mistisisme, Revolver juga adalah album the Beatles pertama yang menjadikan sitar dan tabla (di lagu “Love You To”) sebagai instrumen utama (yang mungkin juga pertama untuk rock ‘n’ roll.

Ketika McCartney-Lennon bergabung menyatukan kekuatan yang kita dapat adalah lagu yang menjadi landasan bagaimana pop kemudian di definisikan. Lagu tersebut adalah “Here, There and Everywhere”. Di sisi yang lain ada lagu yang merupakan hasil akhir dari kegemaran Beatles untuk melakukan uji coba dengan penemuan penemuan baru di studio namun penemuan-penemuan di bidang kedokteran. Bidang kedokteran yang saya maksud adalah penemuan LSD yang kemudian menjadi sangat berpengaruh untuk melebarkan otak John Lennon sehingga dia bisa mengalami pengalaman psychedelic.
Pengalaman luar dunia ini secara sangat menakjubkan bisa dituangkan—dengan pemakaian tipuan-tipuan studio yang canggih—oleh Lennon dan McCartney dalam lagu “Tommorrow Never Knows”, tiga menit bunyi-bunyi tidak berbentuk, loop tape yang diputar terbalik, teriakan-teriakan anjing laut, ketukan ketukan ganjil Ringo Star dan Lennon yang seperti menyanyi dari dalam laut adalah psychedelia dalam bentuknya yang paling sempurna. Musik pop tidak pernah sama lagi setelah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar