Minggu, 22 Mei 2011

Abdee Negara turut serta dalam Gerakan 1000 Gitar Untuk Indonesia

- Musisi sekaligus gitaris grup band Slank, Abdee Negara turut serta dalam Gerakan 1000 Gitar Untuk Indonesia. Abdee 'Slank' menilai gitar dapat membangkitkan semangat.

Gerakan 1000 gitar untuk anak-anak di Indonesia, khususnya mereka yang tidak mampu dapat memotivasi hidup mereka yang selama ini terpinggirkan.

"Begitu banyak kita lihat anak-anak jalanan yang terlantar kehidupannya, menjadi pengemis hingga pengamen. Tapi dengan musik, pasti ada sesuatu yang berbeda, bisa memberi semangat baru," tutur Abdee saat ditemui di kantor Rolling Stone Indonesia, Ampera, Jakarta Selatan, Jumat (6/5).

Lebih lanjut Abdee menuturkan semangat musik Indonesia saat ini tumbuh dan berkembang pesat. Berbagai genre musik mampu memberikan nuansa yang begitu harmoni dan tumbuh bersama komunitas-komunitasnya di Tanah Air ini.

"Musik di Indonesia sangat menarik. Tumbuh dengan skala besar bersama komunitasnya," urainya.

Ia menambahkan mampu menjadi penyembuh, terutama bagi bangsa yang tengah mengalami berbagai konflik.

"Apalagi jika mengingat bahwa music is a healer. Musik itu bisa menjadi penyembuh,"

Tentang Revolver: Album Puncak The Beatles

Disclaimer: saya bukanlah penggemar the Beatles. Jutaan orang sudah memuja kelompok musik dari Liverpool ini. Jutaan kopi dari semua album kelompok ini ada di hampir semua rumah tangga pecinta musik di Barat dan di Timur. Ribuan buku, disertasi, tesis dan artikel sudah pernah ditulis tentang musik kelompok ini. Dan saya tidak keberatan dengan semua itu.




anakamalam-Meminjam kata-kata penulis musik dan novelis Chuck Klosterman tentang keberadaan band yang kurang terlalu dihargai (underrated) atau terlalu berlebihan dihargai (overrated), bagi saya the Beatles adalah band yang memang sudah pada tempatnya dinilai (properly rated). Kelompok musik ini tidak saja produktif namun luar biasa bermutu. Beberapa waktu yang lalu Remy Sylado bilang ke saya kalau John Lennon adalah jenius kelas satu yang tidak bisa dicari gantinya—pernyataan yang tidak terlalu mengejutkan dari seseorang yang mengganti namanya dengan nama baru yang didasarkan kepada kord pertama lagu the Beatles, “All My Loving”. Remy dengan ringan juga bilang kalau the Beatles adalah salah satu dari 4B, Brahms, Beethoven, Bach.
Hampir empat dekade setelah band—yang pernah mengklaim dirinya lebih besar dari Yesus—ini membubarkan diri, majalah Rolling Stone Amerika Serikat masih perlu menulis sebuah cerita sampul tentang penyebab bubarnya kelompok ini, meski tanpa ada hal baru yang cukup penting untuk diceritakan. Perlakuan istimewa semacam ini juga membuat agnostisisme saya kepada the Beatles menjadi semakin mendapat alasan; kalau Rolling Stone saja masih mau menulis kelompok ini setelah 40 tahun berlalu, kelompok tersebut tentu saja telah diberhalakan sampai pada taraf yang berbahaya. Dan menulis tentang the Beatles pada akhirnya adalah sebuah tindakan sia-sia.

Namun bertepatan dengan dirilis ulangnya semua album the Beatles dalam bentuk CD yang telah mengalami perbaikan kualitas suara (remastered), ada baiknya saya berbagi cerita tentang album the Beatles Revolver, album yang paling kurang mendapat perhatian (underrated) meskipun ini menurut saya adalah album terbaik dan paling sempurna dari the Beatles.

Hubungan saya dengan Revolver seperti kembali ke titik awal beberapa hari yang lalu. Saya mendengar album ini pertama kali, mungkin 25 tahun yang lalu, dari sebuah kaset yang saya amankan dari mobil paman saya, seorang aktivis mahasiswa pada zamannya. Nah, beberapa hari yang lalu saya membeli album ini dalam bentuk kaset dari sebuah toko musik di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Saya sebenarnya sedang mencari-cari album perdana Nirvana, Bleach—yang barusan di rilis ulang dalam bentuk piringan hitam (yang berwarna putih) untuk pasar Amerika Utara. Di Indonesia album Bleach nampaknya sudah tidak dicetak lagi, namun secara tidak terduga saya menemukannya dalam bentuk kaset di sini. (Untuk keperluan menulis artikel tentang kemandegan kritik seni di Indonesia, saya belakangan mengunjungi hampir semua toko musik besar di Jakarta, namun tidak bisa menemukan Bleach dalam bentuk CD atau kaset apalagi piringan hitam).

Agak menarik juga kalau saya menemukan Revolver ketika saya sedang mencari Bleach, karena kedua band ini walaupun berbeda secara sound dengan sangat jauh, kedua jenius kelompok ini John Lennon dan Kurt Cobain terkenal memiliki kemampuan menciptakan nada-nada bernas beraroma (atau berirama) pop. Penggemar Nirvana tentu tahu legenda bahwa Cobain—di sela-sela sesi rekaman untuk album Nevermind—mendendangkan lagu “Julia” sambil memainkan gitar akustik.

Kembali ke soal Revolver, 25 tahun yang lalu album ini telah meninggalkan kesan yang kuat, dan ini mungkin adalah salah satu alasan kenapa saya jatuh cinta ke musik rock ‘n’ roll—meskipun masih ada misteri besar yang masih belum bisa saya jawab adalah kenapa saya pada akhirnya tidak memberhalakan the Beatles. Waktu itu saya masih anak kecil, namun saya segera bisa tahu bahwa Eleanor Rigby adalah musik yang tidak biasa. Sebuah lagu di dalam album rock yang seluruh instrumentasi dikerjakan dengan alat musik gesek a la chamber music?
Beberapa waktu yang lalu saya mengetahui setelah membaca buku Alex Ross, The Rest Is Noise: Listening to the 20th Century bahwa lagu ini adalah hasil nyantrik Paul McCartney mendengarkan karya komponis Jerman Karlheinz Stockhausen. Secara teknis, "Eleanor Rigby" juga sudah sangat maju, alat musik gesek yang menyayat di sebelah kanan dan vokal McCartney di sebelah kiri dan hanya pada beberapa titik, vokal McCartney menyatu di tengah bersama alat musik gesek. Ini adalah penggunaan efek stereo yang paling efektif. Bagi saya ini adalah lagu terbaik McCartney, jauh lebih baik dari "Let It Be".

Revolver di hasilkan di tengah puncak kreativitas studio the Beatles, diapit oleh Rubber Soul yang masih agak malu-malu bereksplorasi dan Sgt. Pepper’s Lonely Heart Club Band, yang eksesif itu. Di album ini kita masih bisa mendapatkan the Beatles sebagai band rock ‘n’ roll murni yang baru saja keluar dari garasi, seperti di lagu “Taxman”, sebuah lagu yang sangat politis yang secara mengejutkan di tulis oleh si pendiam George Harrison. Jika tidak sedang memberi ketukan ritme gitar yang kelak menjadi inspirasi bagi band power-pop seperti the Knack, Big Star, dan the Posies, gitar solo Harrison menyalak dengan nada nada tinggi yang garang.
The Beatles di album ini sudah sedemikian maju sehingga mampu memutar terbalik gitar solo Harrison di “I’m only Sleeping” menjadi sebuah suara gitar dari dunia mistik. Berbicara tentang mistisisme, Revolver juga adalah album the Beatles pertama yang menjadikan sitar dan tabla (di lagu “Love You To”) sebagai instrumen utama (yang mungkin juga pertama untuk rock ‘n’ roll.

Ketika McCartney-Lennon bergabung menyatukan kekuatan yang kita dapat adalah lagu yang menjadi landasan bagaimana pop kemudian di definisikan. Lagu tersebut adalah “Here, There and Everywhere”. Di sisi yang lain ada lagu yang merupakan hasil akhir dari kegemaran Beatles untuk melakukan uji coba dengan penemuan penemuan baru di studio namun penemuan-penemuan di bidang kedokteran. Bidang kedokteran yang saya maksud adalah penemuan LSD yang kemudian menjadi sangat berpengaruh untuk melebarkan otak John Lennon sehingga dia bisa mengalami pengalaman psychedelic.
Pengalaman luar dunia ini secara sangat menakjubkan bisa dituangkan—dengan pemakaian tipuan-tipuan studio yang canggih—oleh Lennon dan McCartney dalam lagu “Tommorrow Never Knows”, tiga menit bunyi-bunyi tidak berbentuk, loop tape yang diputar terbalik, teriakan-teriakan anjing laut, ketukan ketukan ganjil Ringo Star dan Lennon yang seperti menyanyi dari dalam laut adalah psychedelia dalam bentuknya yang paling sempurna. Musik pop tidak pernah sama lagi setelah itu.

The Flowers: Kisah Sang Bunga

The Flowers: Kisah Sang Bunga

Medio pertengahan dekade 90, di sebuah acara musik Universitas Indonesia. Bongky Marcel Ismail (Bongky) bersiap tampil dalam keadaan tak sepenuhnya sadar akibat mengkonsumsi alcid (semacam zat adiktif) di luar batas kewajaran.
Jenis psikotropika tersebut biasa digunakan dengan cara ditempel pada kening yang kemudian akan bercampur dengan kelenjar keringat. Si pemakai akan memperoleh reaksi hanya dengan mengicip tiap tetes keringat yang mengucur dari atas menggunakan lidah. Itu metode umum, versi Bongky: menempelkan alcid langsung ke langit-langit mulutnya.
Sampai tiba waktu, ia naik ke atas panggung dengan sempoyongan, badannya seakan tak bertulang, permainannya meracau. Klimaks pun terjadi saat interlude lagu penutup. Ia tak lagi memegang alat musik, bas yang seharusnya tetap dimainkan seketika ditinggalkan. Ia lebih tertarik untuk menjahili sang gitaris yang juga sudah “tinggi” dengan menekan efek gitar secara terus menerus menggunakan tangannya. Setali tiga uang, personil yang lain secara tak sadar bereksperimen dengan alat musik masing-masing hingga lagu tersebut tak kunjung usai. Sang vokalis lari ke sisi panggung, berlulut dengan kedua tangan menutup telinga. Penonton bubar.
Sekelumit perjalanan Bongky menjalani hidupnya sebagai musisi ranah hitam, periode dimana alkohol serta obat-obatan telah menjadi energi penggerak dan kebutuhan hakiki dalam bermusik. Bukan dalam band legendaris yang telah mendepaknya, Slank. Bukan pula dengan BIP, band yang ia gawangi sampai saat ini. Tak kalah liar dari keduanya, bahkan lebih memabukkan. The Flowers namanya.
***
Adalah Boris Simanjuntak, pria keturunan Batak-Jawa yang merupakan pendiri sekaligus gitaris The Flowers. Terkenal begitu karismatik (terutama dimata kaum hawa) hingga lantang dipanggil dengan sebutan Boris “Keras dan Gelinding”, yang merupakan interpretasi dari alat kelamin laki-laki. Ia bersahabat baik dengan Dimas Djayadiningrat (Dimas Jay) yang saat ini dikenal sebagai sutradara papan atas tanah air. Mengetahui selera musik kawannya, Jay lalu mengenalkan pacar adiknya yang juga merupakan pemuja setia Rolling Stones. “Nanti gue kenalin bokin ade gue, anaknya gondrong, Stone juga.” ucap Jay saat itu. Anak gondrong yang dimaksud tak lain adalah vokalis bersuara maksimum dengan aksen sengau liar khas rock n’ roll, Zaid Barmansyah. Publik lebih mengenalnya dengan nama Njet.
Sebelum dibanjiri para Slankers, Potlot merupakan tempat nongkrong ideal para musisi, termasuk Boris yang ketika itu menjadi gitaris untuk Oppie Andaresta, sementara Njet menjadi backing vocal Slank. Dari sekedar jamming hingga event dadakan rutin digelar dikediaman Bunda Iffet tersebut. Salah satu yang mencuat adalah kolaborasi para musisi bertajuk “Out of the Rising Star” yang melibatkan Boris, Njet, Anda (ex Bunga / Anda n the Joints), Cole (Almarhum) dan Chiling (Bunglon). Mengendus potensi nilai jual, Parlin Burman Siburian (Pay) yang saat itu masih berseragam Slank menawarkan mereka berlima untuk membuatkan projek yang lebih serius. Label Aquarius menjadi sasaran pertama.
Kawin silang terjadi ketika Pay terlalu sibuk dengan berbagai aktivitas hingga membuat projek garapannya mulai terbengkalai, sementara di sisi lain Bongky baru saja kehilangan pekerjaan setelah menerima selembar surat dari Bim-bim berisi perintah pemecatan dirinya dari Slank. Bongky akhirnya melanjutkan projek sekaligus mengisi posisi bas yang sebelumnya dipegang oleh Cole. Cole sendiri menggantikan Anda di posisi gitar. Dengan formasi baru, mereka sepakat memakai nama Flowers - terispirasi kegilaan mereka dengan flower generation - setelah nama “Bunga” sudah lebih dahulu dipakai.
Angin segar berhembus, arah perjuangan mereka menemui titik cerah. Tahun 1996, album perdana bertajuk 17 Tahun Keatas berhasil mereka rilis lewat label Aquarius. Album bermaterikan 11 lagu macam “Boncos”, “Nggak Ada Matinya”, dan “Kompromi” dibuat berdasarkan pengalaman dan realita yang mewakili sebagian besar kehidupan sosial anak muda masa itu. Tak heran jika dalam waktu singkat nama mereka meroket menjajarkan diri dan perlahan menggantikan peran Slank yang pada saat bersamaan hancur lebur ditinggal sebagian personilnya. Bahkan lagu “(Tolong) Bu Dokter” demikian fenomenal, seakan menjadi obat penawar paling mujarab bagi mereka yang sedang mengalami sakit hati – keadaan yang entah mengapa ngetrend saat itu. Puncaknya ketika Flowers menjadi band pembuka asal Amerika, Firehouse di 18 titik seluruh Indonesia.
Kejujuran yang mereka tuangkan dalam lirik tak hanya diamini oleh para penggemarnya. Karena setiap bait lagu yang mereka ciptakan, terang-terangan mereka realisasikan dalam kehidupan nyata, bahkan lebih. Salah satunya tercermin di “Tong Sampah”, sebuah lagu tentang perilaku seseorang yang tanpa filterisasi memasukan zat apapun ke dalam tubuhnya. “Aku telan apa saja/Nggak pake pantang/Nggak ada urusan.” kata-kata itu dinyanyikan Njet pada bait pertama.
Gemerlap popularitas serta kemudahan memperoleh fasilitas perlahan pula menjerumus ke fase tersuram dalam karir Flowers, mereka meluncur jauh dalam jeratan alkohol dan obat-obatan. Boris sampai pada titik dimana Flowers bukan sesuatu yang sehat - dalam artian mabuk dan tak sadarkan diri lebih penting dari pada bermusik. Tahun 1998 ia kemudian pergi meneruskan kuliah musik di Amerika. Bongky keluar dan membuat projek lain bersama Ahmad Dhani dan Pay di Ahmad band. Setahun setelah Boris pergi, Cole meninggal dunia tanpa diketahui sebab yang pasti.
***
Pergantian milenium seolah membawa hawa perubahan selepas episode hitam Flowers. Boris yang telah selesai menuntaskan studinya pulang ke Indonesia dengan rencana membangun kembali serpihan kejayaan masa lalu. Anda bersedia mengisi posisi gitar kembali sepeninggal Cole. Pada bas diisi oleh Ganesh (session player Iwa K), sedangkan posisi drum serta vokal tetap ditunggangi Chiling dan Njet.
Selama 4 tahun (2000-2004) sepuluh materi lagu berisi instrumen mentah telah dipersiapkan dalam bentuk pita rekam. Pay yang saat itu berbendera BIP (Bongky Indra Pay) untuk kedua kalinya siap membantu Flowers meretaskan sekuel 17 Tahun Keatas. Namun ada satu syarat yang ia ajukan: Seluruh personil harus bersih dari narkoba. Flowers menerima syarat tersebut.
Hingga suatu kali, Njet tertangkap basah kedapatan masih mengkonsumsi narkoba. Pay geram, dan berujung pada dibatalkannya proses album kedua Flowers. Materi lagu pun tak pernah selesai, sampai saat ini hanya merongsok di pihak label.
***     
1 Januari 2011, saat waktu menunjukan pukul 12 siang. Sesuai dugaan, orang yang saya hubungi baru terbangun setelah mendengar suara bising yang meluncur dari telepon pribadinya. Dengan kondisi belum sepenuhnya sadar, ia berusaha mengumpulkan konsentrasi agar dapat mendengarkan suara saya, sesekali dengan nada tertatih ia sekena-nya menjawab “he-eh”, “ iya, bungkus!”. Tujuan saya saat itu ialah membuat janji bertemu dengannya, tapi saya tak yakin maksud pembicaraan tadi dapat ia mengerti.
Esok hari, ia datang. Dengan memakai skinny jeans warna coklat berpadu dengan atasan kaos v-neck bermotif etnik dengan sebuah kalung bermatakan ukiran tulang dileher serta rambut kribo panjang yang diikat ke belakang. Ia memesan kopi hitam seolah bersiap menumpahkan rekam jejaknya menjadi bagian dari perjalanan Flowers. Orang yang saya maksud adalah sang penggebuk drum Flowers saat ini, Dado Darmawan a.k.a Dado Kemauan dan Kemaluan yang Keras. Tak hanya namanya yang nyeleneh, kelakuannya pun tak kalah berantakan. Bicaranya lugas, apa adanya, bahkan pemilihan kosakata yang disampaikan teramat liar, “Syarat masuk Flowers itu penting ngehe, beda dari yang lain.” Suatu bentuk nyata seorang seniman rock n’ roll masa kini.
Dado merupakan salah satu tonggak kebangkitan Flowers jilid selanjutnya. Sebelumnya ia tergabung dengan band beraliran punk, kemudian ia digaet Hendry Satriawan (ex Junior) - yang juga berperan dalam pengerjaan musik Flowers - untuk menjadi roadman Bonita. Hampir bersamaan, Boris dan Njet kembali mendapat pencerahan untuk membuat sang bunga kuncup mekar lagi. Sperma-nya (istilah Dado) terjadi pada sebuah event musik di tahun 2005 “On Off with Njet Boris Flower” sebuah kolaborasi Njet Boris yang seolah menjadi “deja vu" awal mula terbentuknya Flowers.
Boris lantas meminta Hendry merekomendasikan seseorang pada posisi drum. Pilihan jatuh pada Dado, yang dinilai mempunyai kekuatan hentakan cukup kuat – sesuai dengan kemauan Boris. Pembaptisan dirinya (istilah Dado lagi), terjadi pada acara sekolah Pangudi Luhur, PL Fair Jakarta tahun 2006. Kemudian berlanjut di beberapa gigs seperti Slank Fest dan Djaksphere di tahun yang sama. Rentang waktu 2006-2009 diisi dengan pengumpulan materi sekaligus periode bongkar pasang personil. Posisi additional bass yang dipegang Fanny harus ditinggalkan setelah ia lebih memilih untuk masuk dapur rekaman dengan band reggae, Cozy Republic.
Pernah menjadi session player bersama (untuk Nugie, Katon Bagaskara), Boris memanggil sang partner Leonardo Maitimu (Leo Funky Bass), pembetot bas bernuansa funk namun lekat dengan atmosfer rock 80an untuk menggantikan posisi Fanny. Tak harus lama beradaptasi, Leo segera melebur kedalam Flowers. “Leo itu orangnya kocak, jadi kalau kita nongkrong bareng, suasana jadi lebih hidup. Kita cepet cocok.” lontar Dado memuji rekannya. Memang jika dilihat aksi panggung Leo yang begitu atraktif dan penuh chemistry dengan personil lain, orang awam mungkin mengira ia merupakan formasi awal Flowers.
Nama terakhir yang mengisi line up adalah Eugen Bounty (saxophone), yang berangkat dari wilayah musik yang jauh berbeda dengan Flowers. Ia musisi orkestra. Boris bersikeras ingin tetap mengadirkan nuansa tiup agar secara keseluruhan musik Flowers terdengar lebih megah. Keinginan tersebut sudah ia cita-citakan sejak lama. Namun jalan tak selalu mulus, kendala yang menghadang adalah soal harga. Musisi orkestra seringkali menetapkan standar tinggi mengenai harga. Negosiasi pun dilancarkan. Panggung pertama Eugen bersama Flowers terjadi pada tahun 2008, di sebuah konser dikawasan Sarinah, Jakarta. Eugen akhirnya bersedia dibayar 750 ribu untuk mengisi lima lagu.
Pada saat latihan pertama, Eugen datang ke studio yang berada di lantai 3, ia tidak membawa air minum. Seusai lagu kedua ia mulai merasakan haus, matanya langsung tertuju pada sebuah botol plastik minuman kemasan. Dengan logat Jawa yang kental ia bertanya, “Ini opo toh mas?”. Belum sempat mendapat jawaban dari yang lain, ia lantas meminumnya hingga sisa setengah botol. Latihan kembali dilanjutkan. “Eugen kan jatahnya ngisi lima lagu, tapi pas itu dia udah naik banget, nggak berasa katanya. Ngisi, ngisi. Akhirnya dia main semua, lima belas lagu!!” Dado bercerita sambil tertawa. Belakangan diketahui bahwa botol plastik itu berisi minuman beralkohol. Eugen pun dijuluki Eugen Kuliner – makan dan minum apa saja. Sejak saat itu pula ia mengaku jatuh cinta dengan Flowers, passion musik yang berbeda dari sebelumnya.
Personil telah lengkap, materi album selesai digarap. Demajors pun setuju menjadi label distribusi Flowers. Selanjutnya masuk proses mixing mastering. Mereka kemudian memilih Indra Qadarsih (BIP). Alasan pertama, karena kualitas Indra, baik sebagai musisi maupun sebagai sound engineer tak perlu diragukan lagi. Alasan kedua (dan yang paling melatarbelakangi), harga teman.
Prosesnya dilakukan di rumah sekaligus studio Indra, masih disekitaran Potlot. Lokasinya agak menjorok ke area perkampungan dengan akses jalan masuk hanya cukup untuk sepeda motor. Dari tempat parkir kendaraan harus disambung dengan berjalan kaki sejauh 500 meter untuk sampai ke rumah tersebut. Didalamnya terdapat berbagai peralatan rekaman canggih, dengan aneka tombol kendali serta jejeran monitor disetiap sisinya. Sekilas ruang operator studio tersebut menyerupai kokpit pesawat. Boris dan Dado mewakili personil lain secara intensif berkunjung ke tempat Indra.
Mereka membawa berbagai album musisi luar untuk dijadikan referensi sound yang akan dipakai, mulai dari Led Zeppelin, The Black Crowes, Lenny Kravitz, hingga Kings of Leon. Dengan referensi tersebut diharapkan tekstur suara rekaman yang dihasilkan tetap kering serupa dengan versi live. Namun ditangan Indra hasil akhir lagu menjadi lebih kalem dan lembut. Menurut Dado, referensi bermusik Indra terhenti di era 90 awal dan lebih dominan kearah musik 80an. “Masa ada lagu yang dibuat mirip Genesis, malah ada yang dia buat kayak Counting Crows. Awalnya nggak sreg, tapi lama-kelamaan kita kedoktrin sama dia, halal deh!!” terang Dado. “Lagian kita nggak enak, masa harga temen banyak maunya.”
***
11 April 2010, Score Cilandak Town Square, Jakarta. Album kedua The Flowers – peremajaan dari Flowers – akhirnya di launching. Para pengagum setia mereka, yang rata-rata memasuki kepala tiga tumpah ruah tak sabar menunggu hasil racikan sang pujaan yang telah lama hilang. Turut hadir pula rekan-rekan musisi serta keluarga dekat The Flowers. Acara berlangsung sukses, apresiasi positif datang dari berbagai pihak. Era rock n’ roll sesungguhnya seperti bangkit kembali dari tidur panjang.
Album ini pantas bersanding dengan mahakarya pertama, 17 Tahun Keatas. Di berbagai sisi bahkan terasa mengungguli. Satu yang perlu digarisbawahi adalah konsistensi The Flowers memotret isu sosial yang telah berkembang, efeknya generasi sekarang tetap dapat menikmati sekaligus memaknai setiap lagu mereka. Tak heran jika beberapa media tanah air kemudian menempatkan album ini sebagai salah satu album terbaik tahun 2010. Sebersit harapan akan kemajuan industri musik Indonesia pun kini ditujukan kepada mereka. Sebuah debut comeback yang sangat manis.
Keberhasilan The Flowers kembali ke belantika musik tak melulu soal materi ataupun semata hitungan bisnis. Lebih dari itu, esensi tersirat yang ingin mereka sampaikan adalah mengenai perjuangan dan kesetiaan terhadap pilihan yang selama ini di ambil. Sebuah alasan untuk tetap bertahan, untuk sesuatu yang indah didengar dan nyanyikan. Terlepas dari periode kelam yang pernah mereka alami, saat ini The Flowers tetap hidup untuk bermusik. Mereka kabarkan dunia lewat album kedua, Still Alive and Well.

sumber: http://www.jakartabeat.net/
*image dari: http://pirachy.multiply.com