Sabtu, 28 Mei 2011

KEUNIKAN LAGU SLANK

-Lagu Slank, bagi para Slanker’s adalah merupakan lagu wajib yang harus mereka kuasai dan nyanyikan dalam berbagai kesempatan. Tanpa mengenal dan menghafal lirik lagu yang dinyanyikan oleh grup rock tersebut,maka belum lengkap rasanya seseorang mengaku sebagai seorang Slanker. Slanker’s sendiri adalah sebutan  untuk mereka yang menjadi penggemar grup band slank.
Selain para Slanker’s,lagu slank sendiri banyak  digemari oleh masyarakat lainnya. Baik mereka yang berusia remaja maupun mereka yang sudah dewasa, tidak sedikit masyarakat yang masih menghafal lagu slank yang diluncurkan di awal kemunculan mereka dipentas music tanah air.
Beberapa lagu slank yang cukup abadi diantaranya adalah: Mawar Merah, Terlalu Manis, Bang-bang Tut,Ku tak Bisa,Virus,Balikin,Bendera Setengah Tiang,Kampungan,Pak Tani, dan masih banyak lagi. Tema yang diangkat dalam lagu slank pun beragam,mulai dari love,friendship,rasa cinta  Negara hingga masalah sosial pun diangkat menjadi tema lagu mereka.
Keluarnya beberapa punggawa slank seperti Bongki, Indra, dan Pai,tidak menyebabkan grup music yang bermarkas di Gang. Potlot ini larut dalam kehancuran. Kehadiran Ridho,Ivanka,dan Abdee Negara justru menjadikan warna musik dan lagu Slank menjadi lebih variatif dan menarik untuk disimak

Keunikan lagu slank
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab lagu Slank banyak digemari masyarakat. Beberapa faktor tersebut diantaranya adalah:
  1.   Musiknya cenderung lebih sederhana,sehingga dapat lebih mudah dicerna ,dimengerti, dan lebih mudah dinyanyikannya.
  2.  Lyrik lagu Slank menggunakan bahasa yang medah dimengerti serta  cukup berani dalam bermain kata-kata . tak jarang lagu Slank menggunakan bahasa yang cukup vulgar atau juga tanpa basa-basi . dengar saja lagu “Seperti Para Koruptor” atau juga lagu “Gosip Jalanan” yang bahkan dulu sempat hendak digugat oleh para anggota DPR
  3. Gaya musik Slank selalu bisa mengikuti perkembangan jaman sehingga tidak terdengar kuno di telinga.
  4. Tema lagu slank yang bervariatif, jadi  penggemar tidak bosan untuk mendengarnya berkali-kali. Hal ini yang membedakan Slank dengan grup music lain yang biasanya cenderung  monoton dalam memilih tema lagu. Seperti hanya berbicara soal percintaan saja, yang akhirnya menjadikan pendengar bosan mendengarnya.
  5.  Lagu Slank dianggap mewakilimasalah yang ada ditengah masyarakat. Sehingga menjadikan masyarakat memiliki hubungan batin dengan musik Slank. Hal ini ssebagaimana yang pernah terjadi ketika era musik Iwan Fals yang dianggap mewakili keresahan suara rakyat.

Rock and roll

Rock and roll (sering ditulis sebagai rock 'n' roll) adalah genre musik yang berkembang di Amerika Serikat di akhir tahun 1940-an, dan mencapai puncak kepopuleran di awal tahun 1950-an. Dari Amerika Serikat, genre musik ini tersebar ke seluruh dunia. Rock and roll melahirkan berbagai macam subgenre yang secara keseluruhan dikenal sebagai musik rock.
Ciri khas rock and roll adalah pada ketukan (beat) yang biasanya dipadu dengan lirik. Rock and roll menggunakan beat yang didasarkan salah satu ritme musik blues yang disebut boogie woogie ditambah aksen backbeat yang hampir selalu diisi pukulan snare drum. Versi klasik dari rock and roll dimainkan dengan satu atau dua gitar listrik, gitar bas listrik, dan drum set. Perangkat kibor sering dimainkan sebagai alat musik tambahan. Bila dimainkan dengan dua gitar listrik, gitar listrik yang dimainkan untuk memberi melodi disebut guitar lead, sedangkan gitar untuk memberi ritme dan harmoni disebut gitar ritme. Saksofon sering dijadikan instrumen melodi pada gaya rock and roll awal tahun 1950-an, tapi digantikan perannya oleh gitar elektrik di pertengahan tahun 1950-an. Di akhir tahun 1940-an, bentuk awal rock and roll bahkan memakai piano sebagai instrumen melodi. Salah satu cikal bakal rock and roll adalah musik boogie woogie dengan piano sebagai melodi, seperti permainan musik berbagai kelompok big band yang mendominasi dunia musik Amerika dekade 1940-an. Kepopuleran rock and roll secara massal dan mendunia ternyata menimbulkan dampak sosial yang tidak terduga. Rock and roll bukan saja memengaruhi gaya bermusik, tapi sekaligus gaya hidup, gaya berpakaian, dan bahasa. Selain sukses di dunia musik, bintang-bintang di periode awal rock and roll juga sukses di dunia film dan televisi. Elvis Presley, misalnya merupakan bintang rock and roll yang sukses sebagai bintang film dan televisi.
Istilah slang "rock and roll" sering dipakai orang berkulit hitam untuk menyebut "hubungan seks". Penyanyi wanita Trixie Smith pertama kali menggunakan istilah "rock and roll" dalam lagu "My Baby Rocks Me With One Steady Roll" yang diedarkan tahun 1922.

Asal-usul

Rock and roll mulai muncul sebagai gaya baru dalam bermusik di Amerika pada akhir tahun 1940-an sebagai percabangan musik country dan western produk budaya orang Amerika berkulit putih, dan musik rhythm and blues (R&B) yang merupakan produk budaya orang Afrika-Amerika. Unsur-unsur rock and roll sebenarnya sudah bisa didengar pada lagu-lagu country tahun 1930-an dan lagu-lagu blues dari tahun 1920-an. Walaupun demikian, genre musik yang baru ini tidak disebut "rock and roll" hingga di tahun 1950-an. Bentuk awal rock and roll adalah rockabilly yang memadukan unsur-unsur R&B, blues, jazz, dan dipengaruhi musik folk Appalachia serta musik gospel. Bila ditelusur lebih jauh lagi, cikal bakal musik rock and roll bisa ditemukan di daerah slum Five Points, kota New York pada pertengahan abad ke-19. Di daerah tersebut untuk pertama kalinya terjadi percampuran antara tari Afrika yang ritmis dengan musik Eropa, khususnya musik untuk tari rakyat jig asal Irlandia yang sangat melodius.
Penyanyi gospel berkulit hitam dari daerah Selatan Amerika Serikat menggunakan istilah "rocking" untuk menyebut sesuatu yang mirip dengan proses pengangkatan yang akan dialami orang yang percaya di akhir zaman. Istilah "rocking" pada akhir dekade 1940-an menjadi bermakna ganda, "menari" dan juga "seks", seperti pada lirik lagu "Good Rocking Tonight" yang dibawakan pemusik blues Roy Brown. Lagu seperti ini biasanya hanya diputar stasiun radio yang menyiarkan musik orang Afrika-Amerika dan jarang didengar kalangan orang berkulit putih.
Pada dekade 1920-an dan 1930-an, orang kulit putih di Amerika banyak menyenangi pemusik berkulit putih yang memainkan musik jazz and blues milik orang Afrika-Amerika. Musik yang sama namun bila dimainkan pemusik berkulit hitam justru sering tidak mendapat sambutan. Pemusik R&B berkulit hitam yang digemari orang berkulit putih cuma sedikit, di antaranya yang menonjol adalah Louis Jordan, Mills Brothers, dan The Ink Spots. Semasa lagu-lagu baru belum banyak diciptakan, lagu hit di awal era rock and roll banyak merupakan rekaman ulang dari lagu R&B atau blues yang sudah dikenal sebelumnya. Genre musik blues nantinya terus memberi inspirasi bagi para pemusik rock. Pemusik blues bergaya Delta blues seperti Robert Johnson dan Skip James menjadi inspirasi bagi pemusik rock Inggris The Yardbirds, Cream, dan Led Zeppelin.
Di tahun 1951, Alan Freed, seorang DJ di Cleveland, Ohio mulai memutar jenis musik yang diperkirakannya bisa disukai pendengar dari berbagai kalangan dan ras. Alan Freed disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali menggunakan istilah "rock and roll" untuk musik R&B yang gembira dan energetik. Sewaktu bekerja sebagai DJ di stasiun radio WJW di Cleveland, Alan Freed mengadakan konser rock and roll yang pertama. Konser dilangsungkan 21 Maret 1952 dan diberi nama "The Moondog Coronation Ball". Acara dihadiri penonton yang sebagian besar orang Afrika-Amerika, tapi harus diakhiri sewaktu baru saja mulai karena penonton yang luar biasa padat. Setelah konser yang pertama sukses, Alan Freed terus mengadakan berbagai pertunjukan rock and roll yang banyak ditonton orang berkulit hitam dan berkulit putih. Pertunjukan seperti ini membantu penyebaran gaya musik Afrika-Amerika di berbagai kalangan.
Pengamat musik sering berdebat mengenai pemusik yang berhak dicatat sebagai pembuat rekaman rock and roll yang pertama. Sister Rosetta Tharpe sudah merekam musik yang penuh dengan teriakan dan hentakan di tahun 1930-an dan 1940-an. Gaya bermusiknya mirip dengan ciri khas rock and roll di pertengahan tahun 1950-an. Sister Rosetta sudah menduduki tangga lagu pop di tahun 1938 dengan lagu-lagu berirama gospel seperti "This Train" dan "Rock Me", serta dilanjutkan di tahun 1940-an dengan "Strange Things Happenin Every Day", "Up Above My Head", dan "Down By The Riverside". Pemusik lain yang menyanyikan lagu gospel/blues dengan iringan piano boogie adalah Big Joe Turner dengan "Roll 'em Pete". Lagu ini direkamnya di tahun 1939, tapi hampir-hampir tidak bisa dibedakan dengan gaya rock and roll tahun 1950-an. Artis yang merilis rekaman mirip rock and roll pada dekade 1940-an dan awal tahun 1950-an, di antaranya: Roy Brown ("Good Rocking Tonight", tahun 1947), Paul Bascomb ("Rock and Roll", 1947), Fats Domino ("The Fat Man," 1949), Big Joe Turner ("Honey, Hush", 1953, dan "Shake, Rattle and Roll", 1954), serta Les Paul and Mary Ford ("How High the Moon," 1951).
Artikel majalah Rolling Stone terbitan tahun 2004 menyatakan singel pertama Elvis Presley produksi Sun Records yang berjudul "That's All Right (Mama)" adalah rekaman rock and roll yang pertama.[1]. Sementara itu, lagu hit "Bo Diddley" dan "I'm A Man" oleh Bo Diddley dikatakan sebagai perintis beat baru yang menghentak, serta memperkenalkan cara bermain gitar yang unik dan menjadi inspirasi bagi pemusik lain.
Lagu "Rock Around the Clock" oleh Bill Haley adalah lagu rock and roll pertama yang menduduki puncak tangga lagu majalah Billboard untuk angka penjualan dan jumlah pemutaran lagu (airplay) di radio. Bill Haley membuka pintu bagi gelombang baru kebudayaan pop yang disebut rock and roll. Pemusik-pemusik lain yang menciptakan lagu hit di periode awal rock and roll adalah Chuck Berry, Little Richard, dan kelompok vokal bergaya doo-wop. Sementara itu, di dunia musik pop berjaya para penyanyi yang sudah menjadi bintang sejak dekade sebelumnya, misalnya Eddie Fisher, Perry Como, dan Patti Page. Di periode awal rock and roll, mereka mulai menemui kesulitan menempatkan lagu-lagu pop di tangga lagu akibat terhalang lagu rock and roll.
Musik rock and roll dan boogie woogie keduanya menggunakan satu bar (birama) delapan ketuk dan sama-sama memainkan progresi kord blues 12-bar. Walaupun demikian, rock and roll lebih menekankan pada backbeat dibandingkan boogie woogie. Little Richard memadukan piano boogie-woogie dengan backbeat yang berat dan menyanyikannya dengan suara berteriak akibat terpengaruh gaya menyanyi musik gospel. Pemusik seperti Ray Charles dan Smokey Robinson memuji gaya bernyanyi Little Richard yang dikatakannya membawa warna baru dalam musik. James Brown memuji Little Richard sebagai pemusik yang pertama kali memasukkan unsur musik funk ke dalam beat rock and roll. Elvis Presley turut menyebut Little Richard sebagai sumber inspirasi. Walaupun demikian, perpaduan unsur-unsur musik seperti yang dilakukan Little Richard bukan hal yang baru. Sebelum Little Richard, sudah banyak sekali pemusik yang melakukan hal yang sama, misalnya Esquerita, Cecil Gant, Amos Milburn, Piano Red, dan Harry Gibson. Gaya liar Little Richard dalam berteriak dan menyerukan "wuuu wuuu," sebenarnya sudah digunakan Marion Williams dan banyak lagi penyanyi gospel wanita di tahun 1940-an. Roy Brown juga sudah meneriakan "yoooooww" jauh sebelum Richard melakukannya dalam lagu "Ain't No Rockin no More".

Periode awal rock and roll Amerika Utara (1953-1963)

Rock and roll muncul di saat ketegangan rasial di Amerika Serikat timbul ke permukaan. Orang Afrika-Amerika mulai memprotes segregasi rasial di sekolah dan fasilitas umum. Pada waktu itu, rock and roll yang memadukan unsur musik orang kulit putih dan unsur musik Afrika-Amerika juga tidak luput dari kecaman. Di tahun 1954, Mahkamah Agung AS menolak doktrin separate but equal (terpisah tapi sejajar) dan sejak itu dimulailah perjuangan persamaan hak orang kulit berwarna di Amerika Serikat.
Louis Jordan and His Tympany Five menyebut istilah "rock and roll" dalam versi lagu "Tamburitza Boogie" yang direkam 18 Agustus 1950 di kota New York. Sebelum Louis Jordan, pemusik lain juga sudah menggunakan istilah "rock and roll" pada rekaman mereka, misalnya "Rock and Roll Blues" yang direkam Erline Harris. Di tahun 1948, Wild Bill Moore sudah merekam lagu berjudul "Rock And Roll", begitu pula Paul Bascomb yang menggunakan judul yang sama di tahun 1947 untuk materi lagu berbeda. Di tahun 1922, Trixie Smith bahkan sudah menulis lagu berjudul "My Man Rocks Me with One Steady Roll." Di tahun 1916, kata "rock and roll" sudah disebut-sebut dalam lagu "The Camp Meeting Jubilee" yang direkam artis-artis yang bernaung di bawah label rekaman Little Wonder. Lirik lagu yang dinyanyikan para penyanyi tersebut berbunyi, "We've been rocking and rolling in your arms, in the arms of Moses".
Seorang DJ bernama Alan Freed (alias Moondog) mengadakan konser rock and roll yang pertama pada 21 Maret 1952 di Cleveland. Konser yang diberi nama "The Moondog Coronation Ball" dihadiri penonton dan pemusik tanpa mengenal perbedaan warna kulit. Konser terpaksa dibubarkan setelah baru satu lagu dibawakan di atas panggung karena situasi tidak terkendali. Ribuan penggemar berusaha mendesak masuk ke arena yang tiketnya sudah terjual habis. Konser ini membuka mata industri rekaman akan adanya minat orang kulit putih terhadap musik orang kulit hitam, dan minat ini tidak terbatas pada genre musik rhythm and blues saja. Rintangan ras dan prasangka yang masih kuat di AS ternyata tidak mampu mengatasi kekuatan ekonomi pasar. Rock and roll sukses besar di Amerika Serikat, gelombangnya terbawa Lautan Atlantik hingga ke Inggris dan melahirkan gerakan musik British Invasion pada tahun 1964.
Sejak dilahirkan pada awal dekade 1950-an hingga awal tahun 1960-an, musik rock and roll ikut melahirkan dansa gaya baru. Anak-anak muda merasakan ritme backbeat rock and roll yang tidak monoton sangat cocok untuk menghidupkan kembali dansa gaya jitterbug yang sempat populer di era big band. Demam pesta dansa rumahan dan dansa sock-hops di ruangan senam melanda remaja Amerika. Anak belasan tahun dengan setia mengikuti acara musik American Bandstand yang dibawakan Dick Clark di televisi agar bisa mengikuti gerakan dansa dan gaya busana paling mutakhir. Sejak pertengahan tahun 1960-an, istilah "rock and roll" menjadi cukup disebut "rock". Sejak itu pula secara berturut-turut muncul berbagai genre dansa, mulai dari twist, funk, disco, hingga house dan techno.

Rockabilly

Pada tahun 1954, Elvis Presley merekam lagu hit "That's All Right (Mama)" di studio Sun milik Sam Phillips di Memphis. Elvis memadukan unsur-unsur musik rock dan country-western yang disebut rockabilly. Ciri khas rockabilly adalah gaya vokal seperti orang tersedak bernyanyi, betotan bas, dan permainan gitar bagaikan sedang kejang-kejang. Elvis adalah musisi rock pertama yang meraih status superstar.
Pada tahun berikutnya, Bill Haley & His Comets dengan lagu hit "Rock Around the Clock" bagaikan mempercepat tempo penyebarluasan musik rock and roll. Lagu ini menjadi salah satu lagu hit terbesar dalam sejarah musik. Anak-anak belasan tahun secara histeris menyerbu konser-konser Bill Haley and the Comets hingga terjadi kerusuhan di beberapa kota. Lagu "Rock Around the Clock" bahkan dijadikan lagu pembuka di film Blackboard Jungle yang menandai awal kerjasama saling menguntungkan antara dunia film dan musik rock and roll. Setelah film dirilis tahun 1955, rekaman "Rock Around the Clock" ikut laku keras, padahal penjualan lagu ini biasa-biasa saja ketika rekaman baru diedarkan pada tahun 1954.
Lagu "Rock Around the Clock" merupakan lagu rock and roll pertama yang mencapai puncak tangga lagu di Amerika Serikat untuk beberapa minggu, sekaligus pembuka jalan bagi lagu-lagu lain bergenre rock and roll. Di negara-negara seperti Britania, Australia, dan Jerman, lagu ini mendapat sambutan luar biasa di kalangan anak-anak muda. Di Australia, perusahaan rekaman Festival Records mengedarkan singel "Rock Around the Clock" dan menjadi rekaman paling laku di Australia pada waktu itu. Pada tahun 1957, Jerry Lee Lewis dan Buddy Holly menjadi pemusik rock pertama yang melakukan tur ke Australia. Peristiwa ini menandai ekspansi rock and roll sebagai fenomena global. Di tahun yang sama, Bill Haley ikut melakukan tur ke Eropa dan memperkenalkan rock 'n' roll di benua Eropa.

Rekaman ulang

Sepanjang akhir tahun 1940-an dan awal 1950-an, dunia musik R&B diwarnai beat yang lebih kuat dan gaya yang lebih liar. Gaya bermusik seperti ini diwakili pemusik seperti Fats Domino dan Johnny Otis. Tempo dipercepat dan jumlah pukulan pada backbeat ditambah hingga akhirnya musik mereka menjadi populer di rumah minum yang disebut juke joint. Sebelum adanya Alan Freed dan DJ yang sealiran, musik orang kulit hitam masih tabu bagi stasiun radio orang kulit putih. Walaupun demikian, pemusik dan produser rekaman yang cerdas mulai menyadari potensi musik rock and roll sebagai lahan bisnis yang menguntungkan, dan berlomba-lomba mengeluarkan lagu orang kulit hitam yang dimainkan kulit putih. Di lain pihak, pemusik kulit putih menjadi jatuh cinta pada jenis musik ini dan sedapat mungkin memainkannya dalam setiap kesempatan. Lagu-lagu hit di periode awal Elvis, seperti "That's All Right", "Baby, Let's Play House", "Lawdy Miss Clawdy", dan "Hound Dog" adalah lagu-lagu yang pernah dibawakan orang berkulit hitam.
Pada masa itu, pemusik berkulit putih beramai-ramai merekam ulang lagu-lagu yang pernah dibawakan musisi berkulit hitam. Peluang melakukan rekaman ulang (cover version) terbuka lebar dengan adanya pasal tambahan Wajib Lisensi (compulsory license) dalam Undang-undang Hak Cipta Amerika Serikat. Menurut ketentuan yang terus berlaku hingga sekarang, rekaman yang pernah dibawakan orang lain boleh direkam ulang dan dijual bila memenuhi syarat-syarat tertulis. Salah seorang pemusik dengan rekaman ulang yang sukses adalah Wynonie Harris dengan "Good Rocking Tonight". Lagu ini sebelumnya pernah dibawakan Roy Brown dengan gaya jump blues, tapi diubah menjadi gaya rock. Pada saat bersamaan, penyanyi pop berkulit putih juga ikut-ikutan membawakan lagu-lagu R&B milik penyanyi berkulit hitam. Sebaliknya, penyanyi kulit hitam juga merekam ulang lagu milik penyanyi kulit putih. Wynonie Harris membawakan lagu penyanyi kulit putih, Louis Prima berjudul "Oh Babe" di tahun 1950. Amos Milburn ikut membawakan "Birmingham Bounce" dari Hardrock Gunter yang disebut-sebut sebagai salah satu rekaman rock and roll pertama dari artis berkulit putih.
Pemusik kulit hitam turut diuntungkan dengan pemusik kulit putih yang memainkan lagu-lagu mereka. Lagu-lagu dari pemusik kulit hitam menjadi terkenal, walaupun ada juga pihak yang bersuara sumbang akibat berkurangnya pendapatan atau mempermasalahkan keaslian lagu-lagu tersebut. Pat Boone merupakan salah satu penyanyi yang pernah dikritik karena pernah merekam lagu-lagu Little Richard dengan gaya datar-datar saja. Setelah dimainkan pemusik berkulit putih, lagu-lagu asli dari pemusik kulit hitam ikut menjadi populer, dan mulai diputar di radio-radio. Little Richard sempat menyapa Pat Boone yang hadir sebagai penonton dan memperkenalkannya sebagai "laki-laki yang membuatku jadi jutawan."
Versi rekaman ulang tidak selalu merupakan imitasi mentah-mentah dari versi pemusik kulit hitam. Bill Haley mengubah lagu "Shake, Rattle and Roll" menjadi lagu yang energetik dan cocok dipakai berdansa anak muda. Lagu aslinya yang dibawakan Big Joe Turner justru bercerita tentang cinta orang dewasa dengan nada rasisme dan humor. Selain itu, gaya vokal Etta James yang tegar dan sarkastik dalam "Roll With Me, Henry" diubah Georgia Gibbs menjadi riang dan penuh semangat. Judulnya pun diganti menjadi "Dance With Me, Henry" agar lebih cocok bagi pendengar yang tidak tahu lagu ini dulunya merupakan lagu balasan untuk "Work With Me, Annie" oleh Hank Ballard.

Idola remaja

Buddy Holly, Ritchie Valens, dan the Big Bopper (J.P. Richardson) adalah perintis bintang rock and roll idola remaja yang terus dikenang hingga kini. Ketiganya tewas pada dini hari 3 Februari 1959 dalam kecelakaan pesawat yang sedang menerbangkan mereka ke Fargo, North Dakota. Pesawat Beechcraft Bonanza yang dicarter Buddy Holly mengalami kecelakaan sesaat setelah lepas landas dari Mason City, Iowa. Kecelakaan ini terus dikenang orang setelah di tahun 1971 diangkat Don McLean menjadi lagu ballad "American Pie". Begitu populernya lagu ini hingga 3 Februari dikenal sebagai "The Day the Music Died" ("Hari Matinya Musik"). Eddie Cochran ikut menyebut peristiwa ini dalam lagu "Three Stars" yang secara khusus menyebut Buddy Holly, the Big Bopper, dan Valens.
Akhir dari era Buddy Holly, Ritchie Valens, dan The Big Bopper ditandai dengan kemunculan penyanyi dan grup musik idola yang disukai remaja, termasuk di antaranya: The Beatles, Paul Anka, Frankie Avalon, dan selanjutnya The Monkees.

Rock and roll Inggris

The Tielman Brothers dipercaya lebih dulu memperkenalkan musik beraliran rock sebelum The Beatles. Aksi panggung mereka dikenal selalu atraktif dan menghibur. Mereka tampil sambil melompat-lompat, berguling-guling, serta menampilkan permainan gitar, bass, dan drum yang menawan. Andy Tielman, sang frontman, bahkan dipercaya telah memopulerkan atraksi bermain gitar dengan gigi, di belakang kepala atau di belakang badan jauh sebelum Jimi Hendrix, Jimmy Page atau Ritchie BlackmoreKepopuleran genre trad jazz di Britania Raya dan Australia membawa serta pemusik blues ke Britania. Di tahun 1955, Lonnie Donegan membawakan lagu "Rock Island Line" dalam irama musik skiffle, yakni sejenis musik folk yang dipengaruhi jazz dan blues. Pemusik muda usia banyak yang tertarik dengan musik skiffle, termasuk John Lennon dan Paul McCartney. Keduanya membentuk grup musik skiffle bernama The Quarrymen pada bulan Maret 1957. Kelompok The Quarrymen selanjutnya secara bertahap berkembang menjadi The Beatles. Sebagai tandingan bagi rock and roll Amerika, musisi Inggris menciptakan musik rock and roll gaya Inggris yang selanjutnya terkenal sebagai gerakan musik British Invasion, dan Britania Raya menjadi pusat rock and roll yang baru.
Pada tahun 1958, empat remaja Inggris menjadi terkenal sebagai Cliff Richard dan the Drifters (selanjutnya berganti nama sebagai Cliff Richard and the Shadows). Grup ini mencetak hit "Move It" yang dicatat dalam sejarah sebagai singel rock 'n' roll asli Inggris yang pertama, sekaligus melahirkan genre musik baru Rock Britania (British rock). Cliff Richard memperkenalkan beberapa perubahan besar, seperti penggunaan gitar bas listrik, dan gitaris lead yang pertama (posisi gitaris diisi seorang virtuoso, Hank Marvin).
Panggung musik rock and roll Inggris berkembang dengan kehadiran Tommy Steele, Adam Faith, dan Billy Fury yang berlomba-lomba meniru bintang asal Amerika. Sebagian dari mereka menjadi populer di atas panggung berkat meniru Gene Vincent serta bintang rock and roll Amerika yang lain. Kepopuleran mereka membuat remaja Inggris rajin mengikuti perkembangan musik yang berpuncak pada Beatlemania.
Di awal dekade 1960-an, musik dansa yang dibawakan secara instrumental turut populer di Inggris. Beberapa lagu yang terkenal waktu itu misalnya: "Apache" dari The Shadows, dan "Telstar" dari The Tornados.
Sebagian besar grup musik rock yang berpengaruh dan terkenal di dunia berasal dari Britania Raya, misalnya Black Sabbath, Led Zeppelin, The Rolling Stones, The Who, Pink Floyd, dan Queen.

Daftar pustaka

Buku
  • The Fifties oleh David Halberstam (pemenang Hadiah Pulitzer), Random House, 1996 (ISBN 0-517-15607-5). Buku ini mengupas dan menganalisa budaya populer tahun 1950-an, termasuk perubahan budaya dan sosial, pengaruh televisi dan radio transistor, fenomena Elvis Presley, serta kebangkitan rock and roll.
  • The Rolling Stone Illustrated History of Rock and Roll : The Definitive History of the Most Important Artists and Their Music oleh James Henke ed., Holly George-Warren, Anthony Decurtis, Jim Miller. (1992) Random House (ISBN 0-679-73728-6)
  • The Rolling Stone Encyclopedia of Rock & Roll by Holly George-Warren, Patricia Romanowski, Jon Pareles (2001) Fireside Press (ISBN 0-7432-0120-5).
  • Rock and Roll: A Social History, oleh Paul Friedlander, Westview Press, 1996. ISBN 0-8133-2725-3

Adu Kreativitas Aransemen Ulang Lagu di Soundrenaline

- Kembalinya Soundrenaline tahun ini disertai dengan rangkaian kegiatan yang membedakan Soundrenaline dengan festival-festival musik lainnya di tanah air. Tahun ini, melalui Road to Soundrenaline Live Selection, Sampoerna A ingin memberi kesempatan bagi para penikmat musik untuk tampil di atas panggung Soundrenaline yang bergengsi bersama para musisi ternama.
Kompetisi Road to Soundrenaline Live Selection diperuntukkan bagi mereka yang berusia 18 tahun ke atas dan berani mengekspresikan kreativitas dengan mengirimkan rekaman video berisi aransemen ulang lagu terpilih milik GigiAndra and The BackboneSlank dan Naif.
Road to Soundrenaline Live Selection sendiri akan digelar mulai akhir Mei 2011 di 10 kota di Indonesia, yaitu Denpasar, Makassar, Pontianak, Yogyakarta, Bandung, Palembang, Malang, Medan, Jakarta dan Padang. Mereka yang paling kreatif akan mendapatkan kesempatan berkolaborasi dengan salah satu musisi Indonesia di atas panggung Soundrenaline, 25 Juni 2011 di Pekanbaru.
Untuk dapat tampil di panggung Soundrenaline 2011, para penikmat musik ini perlu melewati beberapa tahapan seleksi. Pertama-tama, dari seluruh video yang masuk dari tiap regional, akan dipilih sepuluh video terbaik.
Kesepuluh video terbaik dari masing-masing regional akan kemudian diseleksi kembali menjadi tiga video finalis dengan bantuan penjurian tim panitia khusus. 
Para finalis per regional ini akan mendapat kesempatan unjuk kebolehan di ajang Road to Soundrenaline Live Selection di masing-masing regional langsung oleh musisi nasional yang lagunya diaransemen ulang. Dari sini hanya akan terpilih 1 band pemenang yang terpilih untuk mewakili regional.
Kesepuluh finalis perwakilan regional ini akan dinilai kembali untuk dicari 1 band yang akan tampil di panggung utama Soundrenaline bersama musisi nasional.
Livia Yosetya, Brand Manager A Mild mengatakan, “Road to Soundrenaline Live Selection merupakan bentuk apreasiasi Sampoerna A terhadap pecinta musik tanah air untuk saling menginspirasi melalui berbagai gagasan kreatif dan semangat untuk menjadi yang terdepan.”
Lebih lanjut Livia Yosetya menambahkan, “Kami ingin memberikan pengalaman tak terlupakan untuk tampil di festival berskala nasional seperti Soundrenaline. Tidak hanya berhenti di situ, Sampoerna A juga ingin menginspirasi para perokok dewasanya untuk terus mendukung industri musik Indonesia.”
sumber : kapanlagi.com

Jumat, 27 Mei 2011

Gambar Kaka Slank Ditempel di Merk Minuman Keras

Gambar Kaka Slank kabarnya dibuat gambar minuman keras merk dagang Cawan Mas yang beredar di Manado, Sulawesi Utara. Tak ayal lagi, Kaka pun geram saat mengetahui bahwa gambar dirinya dipampang dalam label minuman keras tersebut.

Kaka merasa dikhianati atas peristiwa ini, dia pun menegaskan bahwa dirinya tak pernah tdan tak ada hubungannya dengan proses pembuatan label miras yang memasang fotonya ini. Dalam gambar tersebut tertulis “Soal Rasa, Cawan Mas No 1″.
“kita gak terlibat sama sekali. Sekali lagi kita mau mengklarifikasi semua ini tidak benar.” Tutur Bimbim yang mendampingi Kaka saat menggelar jumpa pers di Jalan Potlot, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Selasa (23/03).
Kaka merasa kasus ini sudah merusak imej Slank dan Kaka sendiri khususnya yang sudah dibangun setelah beberapa tahun, Kaka sempat syok saat menerima kabar ini.
“Ini seperti menusuk dari belakang,” katanya.
Namun Kaka bisa memaklumi, jika dilihat dari kacamata pergaulan ini adalah efek yang siap diterimanya. Dia menganggap ada pembelajaran jika dalam pergaulan jatuhnya jadi culas. Dari kejadian ini, Kaka menyerukan kepada Slankers bahwa Slank tidak terlibat apapun dan tidak menyetujui apapun dengan yang tertulis di botol.
“Buat para teman-teman slankers tolong mengertilah. Ini bukan jalan dan gayanya Slank. Kita gak mungkin berbuat seperti ini.” Ungkap kaka

Minggu, 22 Mei 2011

Abdee Negara turut serta dalam Gerakan 1000 Gitar Untuk Indonesia

- Musisi sekaligus gitaris grup band Slank, Abdee Negara turut serta dalam Gerakan 1000 Gitar Untuk Indonesia. Abdee 'Slank' menilai gitar dapat membangkitkan semangat.

Gerakan 1000 gitar untuk anak-anak di Indonesia, khususnya mereka yang tidak mampu dapat memotivasi hidup mereka yang selama ini terpinggirkan.

"Begitu banyak kita lihat anak-anak jalanan yang terlantar kehidupannya, menjadi pengemis hingga pengamen. Tapi dengan musik, pasti ada sesuatu yang berbeda, bisa memberi semangat baru," tutur Abdee saat ditemui di kantor Rolling Stone Indonesia, Ampera, Jakarta Selatan, Jumat (6/5).

Lebih lanjut Abdee menuturkan semangat musik Indonesia saat ini tumbuh dan berkembang pesat. Berbagai genre musik mampu memberikan nuansa yang begitu harmoni dan tumbuh bersama komunitas-komunitasnya di Tanah Air ini.

"Musik di Indonesia sangat menarik. Tumbuh dengan skala besar bersama komunitasnya," urainya.

Ia menambahkan mampu menjadi penyembuh, terutama bagi bangsa yang tengah mengalami berbagai konflik.

"Apalagi jika mengingat bahwa music is a healer. Musik itu bisa menjadi penyembuh,"

Tentang Revolver: Album Puncak The Beatles

Disclaimer: saya bukanlah penggemar the Beatles. Jutaan orang sudah memuja kelompok musik dari Liverpool ini. Jutaan kopi dari semua album kelompok ini ada di hampir semua rumah tangga pecinta musik di Barat dan di Timur. Ribuan buku, disertasi, tesis dan artikel sudah pernah ditulis tentang musik kelompok ini. Dan saya tidak keberatan dengan semua itu.




anakamalam-Meminjam kata-kata penulis musik dan novelis Chuck Klosterman tentang keberadaan band yang kurang terlalu dihargai (underrated) atau terlalu berlebihan dihargai (overrated), bagi saya the Beatles adalah band yang memang sudah pada tempatnya dinilai (properly rated). Kelompok musik ini tidak saja produktif namun luar biasa bermutu. Beberapa waktu yang lalu Remy Sylado bilang ke saya kalau John Lennon adalah jenius kelas satu yang tidak bisa dicari gantinya—pernyataan yang tidak terlalu mengejutkan dari seseorang yang mengganti namanya dengan nama baru yang didasarkan kepada kord pertama lagu the Beatles, “All My Loving”. Remy dengan ringan juga bilang kalau the Beatles adalah salah satu dari 4B, Brahms, Beethoven, Bach.
Hampir empat dekade setelah band—yang pernah mengklaim dirinya lebih besar dari Yesus—ini membubarkan diri, majalah Rolling Stone Amerika Serikat masih perlu menulis sebuah cerita sampul tentang penyebab bubarnya kelompok ini, meski tanpa ada hal baru yang cukup penting untuk diceritakan. Perlakuan istimewa semacam ini juga membuat agnostisisme saya kepada the Beatles menjadi semakin mendapat alasan; kalau Rolling Stone saja masih mau menulis kelompok ini setelah 40 tahun berlalu, kelompok tersebut tentu saja telah diberhalakan sampai pada taraf yang berbahaya. Dan menulis tentang the Beatles pada akhirnya adalah sebuah tindakan sia-sia.

Namun bertepatan dengan dirilis ulangnya semua album the Beatles dalam bentuk CD yang telah mengalami perbaikan kualitas suara (remastered), ada baiknya saya berbagi cerita tentang album the Beatles Revolver, album yang paling kurang mendapat perhatian (underrated) meskipun ini menurut saya adalah album terbaik dan paling sempurna dari the Beatles.

Hubungan saya dengan Revolver seperti kembali ke titik awal beberapa hari yang lalu. Saya mendengar album ini pertama kali, mungkin 25 tahun yang lalu, dari sebuah kaset yang saya amankan dari mobil paman saya, seorang aktivis mahasiswa pada zamannya. Nah, beberapa hari yang lalu saya membeli album ini dalam bentuk kaset dari sebuah toko musik di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Saya sebenarnya sedang mencari-cari album perdana Nirvana, Bleach—yang barusan di rilis ulang dalam bentuk piringan hitam (yang berwarna putih) untuk pasar Amerika Utara. Di Indonesia album Bleach nampaknya sudah tidak dicetak lagi, namun secara tidak terduga saya menemukannya dalam bentuk kaset di sini. (Untuk keperluan menulis artikel tentang kemandegan kritik seni di Indonesia, saya belakangan mengunjungi hampir semua toko musik besar di Jakarta, namun tidak bisa menemukan Bleach dalam bentuk CD atau kaset apalagi piringan hitam).

Agak menarik juga kalau saya menemukan Revolver ketika saya sedang mencari Bleach, karena kedua band ini walaupun berbeda secara sound dengan sangat jauh, kedua jenius kelompok ini John Lennon dan Kurt Cobain terkenal memiliki kemampuan menciptakan nada-nada bernas beraroma (atau berirama) pop. Penggemar Nirvana tentu tahu legenda bahwa Cobain—di sela-sela sesi rekaman untuk album Nevermind—mendendangkan lagu “Julia” sambil memainkan gitar akustik.

Kembali ke soal Revolver, 25 tahun yang lalu album ini telah meninggalkan kesan yang kuat, dan ini mungkin adalah salah satu alasan kenapa saya jatuh cinta ke musik rock ‘n’ roll—meskipun masih ada misteri besar yang masih belum bisa saya jawab adalah kenapa saya pada akhirnya tidak memberhalakan the Beatles. Waktu itu saya masih anak kecil, namun saya segera bisa tahu bahwa Eleanor Rigby adalah musik yang tidak biasa. Sebuah lagu di dalam album rock yang seluruh instrumentasi dikerjakan dengan alat musik gesek a la chamber music?
Beberapa waktu yang lalu saya mengetahui setelah membaca buku Alex Ross, The Rest Is Noise: Listening to the 20th Century bahwa lagu ini adalah hasil nyantrik Paul McCartney mendengarkan karya komponis Jerman Karlheinz Stockhausen. Secara teknis, "Eleanor Rigby" juga sudah sangat maju, alat musik gesek yang menyayat di sebelah kanan dan vokal McCartney di sebelah kiri dan hanya pada beberapa titik, vokal McCartney menyatu di tengah bersama alat musik gesek. Ini adalah penggunaan efek stereo yang paling efektif. Bagi saya ini adalah lagu terbaik McCartney, jauh lebih baik dari "Let It Be".

Revolver di hasilkan di tengah puncak kreativitas studio the Beatles, diapit oleh Rubber Soul yang masih agak malu-malu bereksplorasi dan Sgt. Pepper’s Lonely Heart Club Band, yang eksesif itu. Di album ini kita masih bisa mendapatkan the Beatles sebagai band rock ‘n’ roll murni yang baru saja keluar dari garasi, seperti di lagu “Taxman”, sebuah lagu yang sangat politis yang secara mengejutkan di tulis oleh si pendiam George Harrison. Jika tidak sedang memberi ketukan ritme gitar yang kelak menjadi inspirasi bagi band power-pop seperti the Knack, Big Star, dan the Posies, gitar solo Harrison menyalak dengan nada nada tinggi yang garang.
The Beatles di album ini sudah sedemikian maju sehingga mampu memutar terbalik gitar solo Harrison di “I’m only Sleeping” menjadi sebuah suara gitar dari dunia mistik. Berbicara tentang mistisisme, Revolver juga adalah album the Beatles pertama yang menjadikan sitar dan tabla (di lagu “Love You To”) sebagai instrumen utama (yang mungkin juga pertama untuk rock ‘n’ roll.

Ketika McCartney-Lennon bergabung menyatukan kekuatan yang kita dapat adalah lagu yang menjadi landasan bagaimana pop kemudian di definisikan. Lagu tersebut adalah “Here, There and Everywhere”. Di sisi yang lain ada lagu yang merupakan hasil akhir dari kegemaran Beatles untuk melakukan uji coba dengan penemuan penemuan baru di studio namun penemuan-penemuan di bidang kedokteran. Bidang kedokteran yang saya maksud adalah penemuan LSD yang kemudian menjadi sangat berpengaruh untuk melebarkan otak John Lennon sehingga dia bisa mengalami pengalaman psychedelic.
Pengalaman luar dunia ini secara sangat menakjubkan bisa dituangkan—dengan pemakaian tipuan-tipuan studio yang canggih—oleh Lennon dan McCartney dalam lagu “Tommorrow Never Knows”, tiga menit bunyi-bunyi tidak berbentuk, loop tape yang diputar terbalik, teriakan-teriakan anjing laut, ketukan ketukan ganjil Ringo Star dan Lennon yang seperti menyanyi dari dalam laut adalah psychedelia dalam bentuknya yang paling sempurna. Musik pop tidak pernah sama lagi setelah itu.

The Flowers: Kisah Sang Bunga

The Flowers: Kisah Sang Bunga

Medio pertengahan dekade 90, di sebuah acara musik Universitas Indonesia. Bongky Marcel Ismail (Bongky) bersiap tampil dalam keadaan tak sepenuhnya sadar akibat mengkonsumsi alcid (semacam zat adiktif) di luar batas kewajaran.
Jenis psikotropika tersebut biasa digunakan dengan cara ditempel pada kening yang kemudian akan bercampur dengan kelenjar keringat. Si pemakai akan memperoleh reaksi hanya dengan mengicip tiap tetes keringat yang mengucur dari atas menggunakan lidah. Itu metode umum, versi Bongky: menempelkan alcid langsung ke langit-langit mulutnya.
Sampai tiba waktu, ia naik ke atas panggung dengan sempoyongan, badannya seakan tak bertulang, permainannya meracau. Klimaks pun terjadi saat interlude lagu penutup. Ia tak lagi memegang alat musik, bas yang seharusnya tetap dimainkan seketika ditinggalkan. Ia lebih tertarik untuk menjahili sang gitaris yang juga sudah “tinggi” dengan menekan efek gitar secara terus menerus menggunakan tangannya. Setali tiga uang, personil yang lain secara tak sadar bereksperimen dengan alat musik masing-masing hingga lagu tersebut tak kunjung usai. Sang vokalis lari ke sisi panggung, berlulut dengan kedua tangan menutup telinga. Penonton bubar.
Sekelumit perjalanan Bongky menjalani hidupnya sebagai musisi ranah hitam, periode dimana alkohol serta obat-obatan telah menjadi energi penggerak dan kebutuhan hakiki dalam bermusik. Bukan dalam band legendaris yang telah mendepaknya, Slank. Bukan pula dengan BIP, band yang ia gawangi sampai saat ini. Tak kalah liar dari keduanya, bahkan lebih memabukkan. The Flowers namanya.
***
Adalah Boris Simanjuntak, pria keturunan Batak-Jawa yang merupakan pendiri sekaligus gitaris The Flowers. Terkenal begitu karismatik (terutama dimata kaum hawa) hingga lantang dipanggil dengan sebutan Boris “Keras dan Gelinding”, yang merupakan interpretasi dari alat kelamin laki-laki. Ia bersahabat baik dengan Dimas Djayadiningrat (Dimas Jay) yang saat ini dikenal sebagai sutradara papan atas tanah air. Mengetahui selera musik kawannya, Jay lalu mengenalkan pacar adiknya yang juga merupakan pemuja setia Rolling Stones. “Nanti gue kenalin bokin ade gue, anaknya gondrong, Stone juga.” ucap Jay saat itu. Anak gondrong yang dimaksud tak lain adalah vokalis bersuara maksimum dengan aksen sengau liar khas rock n’ roll, Zaid Barmansyah. Publik lebih mengenalnya dengan nama Njet.
Sebelum dibanjiri para Slankers, Potlot merupakan tempat nongkrong ideal para musisi, termasuk Boris yang ketika itu menjadi gitaris untuk Oppie Andaresta, sementara Njet menjadi backing vocal Slank. Dari sekedar jamming hingga event dadakan rutin digelar dikediaman Bunda Iffet tersebut. Salah satu yang mencuat adalah kolaborasi para musisi bertajuk “Out of the Rising Star” yang melibatkan Boris, Njet, Anda (ex Bunga / Anda n the Joints), Cole (Almarhum) dan Chiling (Bunglon). Mengendus potensi nilai jual, Parlin Burman Siburian (Pay) yang saat itu masih berseragam Slank menawarkan mereka berlima untuk membuatkan projek yang lebih serius. Label Aquarius menjadi sasaran pertama.
Kawin silang terjadi ketika Pay terlalu sibuk dengan berbagai aktivitas hingga membuat projek garapannya mulai terbengkalai, sementara di sisi lain Bongky baru saja kehilangan pekerjaan setelah menerima selembar surat dari Bim-bim berisi perintah pemecatan dirinya dari Slank. Bongky akhirnya melanjutkan projek sekaligus mengisi posisi bas yang sebelumnya dipegang oleh Cole. Cole sendiri menggantikan Anda di posisi gitar. Dengan formasi baru, mereka sepakat memakai nama Flowers - terispirasi kegilaan mereka dengan flower generation - setelah nama “Bunga” sudah lebih dahulu dipakai.
Angin segar berhembus, arah perjuangan mereka menemui titik cerah. Tahun 1996, album perdana bertajuk 17 Tahun Keatas berhasil mereka rilis lewat label Aquarius. Album bermaterikan 11 lagu macam “Boncos”, “Nggak Ada Matinya”, dan “Kompromi” dibuat berdasarkan pengalaman dan realita yang mewakili sebagian besar kehidupan sosial anak muda masa itu. Tak heran jika dalam waktu singkat nama mereka meroket menjajarkan diri dan perlahan menggantikan peran Slank yang pada saat bersamaan hancur lebur ditinggal sebagian personilnya. Bahkan lagu “(Tolong) Bu Dokter” demikian fenomenal, seakan menjadi obat penawar paling mujarab bagi mereka yang sedang mengalami sakit hati – keadaan yang entah mengapa ngetrend saat itu. Puncaknya ketika Flowers menjadi band pembuka asal Amerika, Firehouse di 18 titik seluruh Indonesia.
Kejujuran yang mereka tuangkan dalam lirik tak hanya diamini oleh para penggemarnya. Karena setiap bait lagu yang mereka ciptakan, terang-terangan mereka realisasikan dalam kehidupan nyata, bahkan lebih. Salah satunya tercermin di “Tong Sampah”, sebuah lagu tentang perilaku seseorang yang tanpa filterisasi memasukan zat apapun ke dalam tubuhnya. “Aku telan apa saja/Nggak pake pantang/Nggak ada urusan.” kata-kata itu dinyanyikan Njet pada bait pertama.
Gemerlap popularitas serta kemudahan memperoleh fasilitas perlahan pula menjerumus ke fase tersuram dalam karir Flowers, mereka meluncur jauh dalam jeratan alkohol dan obat-obatan. Boris sampai pada titik dimana Flowers bukan sesuatu yang sehat - dalam artian mabuk dan tak sadarkan diri lebih penting dari pada bermusik. Tahun 1998 ia kemudian pergi meneruskan kuliah musik di Amerika. Bongky keluar dan membuat projek lain bersama Ahmad Dhani dan Pay di Ahmad band. Setahun setelah Boris pergi, Cole meninggal dunia tanpa diketahui sebab yang pasti.
***
Pergantian milenium seolah membawa hawa perubahan selepas episode hitam Flowers. Boris yang telah selesai menuntaskan studinya pulang ke Indonesia dengan rencana membangun kembali serpihan kejayaan masa lalu. Anda bersedia mengisi posisi gitar kembali sepeninggal Cole. Pada bas diisi oleh Ganesh (session player Iwa K), sedangkan posisi drum serta vokal tetap ditunggangi Chiling dan Njet.
Selama 4 tahun (2000-2004) sepuluh materi lagu berisi instrumen mentah telah dipersiapkan dalam bentuk pita rekam. Pay yang saat itu berbendera BIP (Bongky Indra Pay) untuk kedua kalinya siap membantu Flowers meretaskan sekuel 17 Tahun Keatas. Namun ada satu syarat yang ia ajukan: Seluruh personil harus bersih dari narkoba. Flowers menerima syarat tersebut.
Hingga suatu kali, Njet tertangkap basah kedapatan masih mengkonsumsi narkoba. Pay geram, dan berujung pada dibatalkannya proses album kedua Flowers. Materi lagu pun tak pernah selesai, sampai saat ini hanya merongsok di pihak label.
***     
1 Januari 2011, saat waktu menunjukan pukul 12 siang. Sesuai dugaan, orang yang saya hubungi baru terbangun setelah mendengar suara bising yang meluncur dari telepon pribadinya. Dengan kondisi belum sepenuhnya sadar, ia berusaha mengumpulkan konsentrasi agar dapat mendengarkan suara saya, sesekali dengan nada tertatih ia sekena-nya menjawab “he-eh”, “ iya, bungkus!”. Tujuan saya saat itu ialah membuat janji bertemu dengannya, tapi saya tak yakin maksud pembicaraan tadi dapat ia mengerti.
Esok hari, ia datang. Dengan memakai skinny jeans warna coklat berpadu dengan atasan kaos v-neck bermotif etnik dengan sebuah kalung bermatakan ukiran tulang dileher serta rambut kribo panjang yang diikat ke belakang. Ia memesan kopi hitam seolah bersiap menumpahkan rekam jejaknya menjadi bagian dari perjalanan Flowers. Orang yang saya maksud adalah sang penggebuk drum Flowers saat ini, Dado Darmawan a.k.a Dado Kemauan dan Kemaluan yang Keras. Tak hanya namanya yang nyeleneh, kelakuannya pun tak kalah berantakan. Bicaranya lugas, apa adanya, bahkan pemilihan kosakata yang disampaikan teramat liar, “Syarat masuk Flowers itu penting ngehe, beda dari yang lain.” Suatu bentuk nyata seorang seniman rock n’ roll masa kini.
Dado merupakan salah satu tonggak kebangkitan Flowers jilid selanjutnya. Sebelumnya ia tergabung dengan band beraliran punk, kemudian ia digaet Hendry Satriawan (ex Junior) - yang juga berperan dalam pengerjaan musik Flowers - untuk menjadi roadman Bonita. Hampir bersamaan, Boris dan Njet kembali mendapat pencerahan untuk membuat sang bunga kuncup mekar lagi. Sperma-nya (istilah Dado) terjadi pada sebuah event musik di tahun 2005 “On Off with Njet Boris Flower” sebuah kolaborasi Njet Boris yang seolah menjadi “deja vu" awal mula terbentuknya Flowers.
Boris lantas meminta Hendry merekomendasikan seseorang pada posisi drum. Pilihan jatuh pada Dado, yang dinilai mempunyai kekuatan hentakan cukup kuat – sesuai dengan kemauan Boris. Pembaptisan dirinya (istilah Dado lagi), terjadi pada acara sekolah Pangudi Luhur, PL Fair Jakarta tahun 2006. Kemudian berlanjut di beberapa gigs seperti Slank Fest dan Djaksphere di tahun yang sama. Rentang waktu 2006-2009 diisi dengan pengumpulan materi sekaligus periode bongkar pasang personil. Posisi additional bass yang dipegang Fanny harus ditinggalkan setelah ia lebih memilih untuk masuk dapur rekaman dengan band reggae, Cozy Republic.
Pernah menjadi session player bersama (untuk Nugie, Katon Bagaskara), Boris memanggil sang partner Leonardo Maitimu (Leo Funky Bass), pembetot bas bernuansa funk namun lekat dengan atmosfer rock 80an untuk menggantikan posisi Fanny. Tak harus lama beradaptasi, Leo segera melebur kedalam Flowers. “Leo itu orangnya kocak, jadi kalau kita nongkrong bareng, suasana jadi lebih hidup. Kita cepet cocok.” lontar Dado memuji rekannya. Memang jika dilihat aksi panggung Leo yang begitu atraktif dan penuh chemistry dengan personil lain, orang awam mungkin mengira ia merupakan formasi awal Flowers.
Nama terakhir yang mengisi line up adalah Eugen Bounty (saxophone), yang berangkat dari wilayah musik yang jauh berbeda dengan Flowers. Ia musisi orkestra. Boris bersikeras ingin tetap mengadirkan nuansa tiup agar secara keseluruhan musik Flowers terdengar lebih megah. Keinginan tersebut sudah ia cita-citakan sejak lama. Namun jalan tak selalu mulus, kendala yang menghadang adalah soal harga. Musisi orkestra seringkali menetapkan standar tinggi mengenai harga. Negosiasi pun dilancarkan. Panggung pertama Eugen bersama Flowers terjadi pada tahun 2008, di sebuah konser dikawasan Sarinah, Jakarta. Eugen akhirnya bersedia dibayar 750 ribu untuk mengisi lima lagu.
Pada saat latihan pertama, Eugen datang ke studio yang berada di lantai 3, ia tidak membawa air minum. Seusai lagu kedua ia mulai merasakan haus, matanya langsung tertuju pada sebuah botol plastik minuman kemasan. Dengan logat Jawa yang kental ia bertanya, “Ini opo toh mas?”. Belum sempat mendapat jawaban dari yang lain, ia lantas meminumnya hingga sisa setengah botol. Latihan kembali dilanjutkan. “Eugen kan jatahnya ngisi lima lagu, tapi pas itu dia udah naik banget, nggak berasa katanya. Ngisi, ngisi. Akhirnya dia main semua, lima belas lagu!!” Dado bercerita sambil tertawa. Belakangan diketahui bahwa botol plastik itu berisi minuman beralkohol. Eugen pun dijuluki Eugen Kuliner – makan dan minum apa saja. Sejak saat itu pula ia mengaku jatuh cinta dengan Flowers, passion musik yang berbeda dari sebelumnya.
Personil telah lengkap, materi album selesai digarap. Demajors pun setuju menjadi label distribusi Flowers. Selanjutnya masuk proses mixing mastering. Mereka kemudian memilih Indra Qadarsih (BIP). Alasan pertama, karena kualitas Indra, baik sebagai musisi maupun sebagai sound engineer tak perlu diragukan lagi. Alasan kedua (dan yang paling melatarbelakangi), harga teman.
Prosesnya dilakukan di rumah sekaligus studio Indra, masih disekitaran Potlot. Lokasinya agak menjorok ke area perkampungan dengan akses jalan masuk hanya cukup untuk sepeda motor. Dari tempat parkir kendaraan harus disambung dengan berjalan kaki sejauh 500 meter untuk sampai ke rumah tersebut. Didalamnya terdapat berbagai peralatan rekaman canggih, dengan aneka tombol kendali serta jejeran monitor disetiap sisinya. Sekilas ruang operator studio tersebut menyerupai kokpit pesawat. Boris dan Dado mewakili personil lain secara intensif berkunjung ke tempat Indra.
Mereka membawa berbagai album musisi luar untuk dijadikan referensi sound yang akan dipakai, mulai dari Led Zeppelin, The Black Crowes, Lenny Kravitz, hingga Kings of Leon. Dengan referensi tersebut diharapkan tekstur suara rekaman yang dihasilkan tetap kering serupa dengan versi live. Namun ditangan Indra hasil akhir lagu menjadi lebih kalem dan lembut. Menurut Dado, referensi bermusik Indra terhenti di era 90 awal dan lebih dominan kearah musik 80an. “Masa ada lagu yang dibuat mirip Genesis, malah ada yang dia buat kayak Counting Crows. Awalnya nggak sreg, tapi lama-kelamaan kita kedoktrin sama dia, halal deh!!” terang Dado. “Lagian kita nggak enak, masa harga temen banyak maunya.”
***
11 April 2010, Score Cilandak Town Square, Jakarta. Album kedua The Flowers – peremajaan dari Flowers – akhirnya di launching. Para pengagum setia mereka, yang rata-rata memasuki kepala tiga tumpah ruah tak sabar menunggu hasil racikan sang pujaan yang telah lama hilang. Turut hadir pula rekan-rekan musisi serta keluarga dekat The Flowers. Acara berlangsung sukses, apresiasi positif datang dari berbagai pihak. Era rock n’ roll sesungguhnya seperti bangkit kembali dari tidur panjang.
Album ini pantas bersanding dengan mahakarya pertama, 17 Tahun Keatas. Di berbagai sisi bahkan terasa mengungguli. Satu yang perlu digarisbawahi adalah konsistensi The Flowers memotret isu sosial yang telah berkembang, efeknya generasi sekarang tetap dapat menikmati sekaligus memaknai setiap lagu mereka. Tak heran jika beberapa media tanah air kemudian menempatkan album ini sebagai salah satu album terbaik tahun 2010. Sebersit harapan akan kemajuan industri musik Indonesia pun kini ditujukan kepada mereka. Sebuah debut comeback yang sangat manis.
Keberhasilan The Flowers kembali ke belantika musik tak melulu soal materi ataupun semata hitungan bisnis. Lebih dari itu, esensi tersirat yang ingin mereka sampaikan adalah mengenai perjuangan dan kesetiaan terhadap pilihan yang selama ini di ambil. Sebuah alasan untuk tetap bertahan, untuk sesuatu yang indah didengar dan nyanyikan. Terlepas dari periode kelam yang pernah mereka alami, saat ini The Flowers tetap hidup untuk bermusik. Mereka kabarkan dunia lewat album kedua, Still Alive and Well.

sumber: http://www.jakartabeat.net/
*image dari: http://pirachy.multiply.com

Jumat, 20 Mei 2011

The BEST Indonesian Rock n' roll band EVER!!!

Ternyata jauh sebelum Elvis Presley, Beatles, Rolling Stones, Jimi Hendrix, dll mendominasi musik rock taun '60 an, sebuah group ROCK N ROLL asal Indonesia sudah lebih dulu populer & jadi salah satu pionir Rock n' roll DUNIA.

Konon Jimi Henfix, Beatles, Rolling Stones, bahkan Elvis Presley pun terinspirasi untuk mengikuti gaya mereka.

Ga perlu disangkal... ga bisa dipungkiri... This is the best Indonesian rock n' roll band ever.

The Tielman Brothers
Mereka ini asli orang2 Indonesia, cuma pada akhir tahun '50 an, saat Soekarno gencar meneriakan anti barat, mereka terpaksa "hijrah" ke Belanda dan menetap di sana. Akhirnya orang lebih mengenal mereka sebagai group asal Belanda.



The Tielman Family  in Surabaya, Indonesia 1947
l/r: Jane, Reggy, Ponthon, Andy, Loulou, Mother Flora Lorine Hess, Father Herman Tielman

(Father) Herman Dirk Tielman (Menado 1904 - † The Hague 1979)
(Mother) Flora Laurentine Hess (Madiun 1901 - † Purworedjo 1991) (German ancestors)
- she was married before with Uchtmann (3 children Ralph, Jack and a girl were born).
Reggy (Reginald)- born the 20th May 1933 in Surabaya, Indonesia (he got the surname Uchtmann)
Ponthon - born the 4th August 1934; deceased the 29th April 2000 in Jemper, Indonesia
Andy - born the 30th May 1936 in Makassar, Celebes, Indonesia
Loulou (Herman Lawrence) - born the 30th October 1938 in Surabaya, Indonesia, deceased the 4th August 1994 in Cairus, Australia
Jane (Janette Loraine )- born the 17th August 940; deceased the 25th June 1993


THE TIMOR RHYTM BROTHERS( Indonesia 1945-1957)
Andy Tielman (guitar, vocals)
Reggy Tielman (banjo,guitar,vocals)
Ponthon Tielman (double bass, guitar, vocals), left in 1956 for Bussum, the Netherlands
Loulou( Herman Lawrence) Tielman (drums, vocals)
Jane (Janette Loraine) Tielman (Vocals)
(Father) Herman Tielman (manager, guitar)
(Mother) Flora Lorine Hess (presentation)

The Timor Rhythm Brothers in Surabaya 1947
l/r: Ponthon, Reggy, Loulou, Jane, Andy Tielman
The story of THE TIELMAN BROTHERS begin in Surabaya, where the 4 little brothers Tielman and little sister Jane started performing together in 1945 folk songs and traditional dances. Father Herman a captain and later quartermaster in the KNIL (Royal Dutch Indonesian Army) and he had stayed in a Japanese concentration camp. He owned a house in Surabaya and started to play music together with his friends. Herman Tielman was a gifted all round musician and he was the one that supplied Reggy, Ponthon, Andy, Loulou and Jane with their rich musical luggage. From the started Ponthon wanted to play the big double bass. Reggy wanted to play banjo and little Loulou was fond of the drums. Andy learned to play lead guitar. During their first performance during a house party they surprised their fathers friends with difficult numbers like Tiger Rag and 12th Street Rag.
Gigs followed at several private parties in Soerbaya. It went fast and within half a year they went on tour as THE TIMOR RHYTHN BROTHERS -Timor is the island, where the Tielman family inherited from - along the camps of the Dutch soldiers. There after they received offers from the NIWIM (National  Effort Welfare Indonesia) and together with famous Dutch artists like De Wama’s, the Ramblers and the Skymasters they toured along the major cities of Indonesia. Their shows consisted of music and dances from all over the Indonesian islands including corresponding costumes and ritual attributes like war spears and swords. During these shows father Herman Tielman joined in on guitar mother Flora took care for the general presentation.

On the 29th December 1949 the official  independence proclamation of Indonesia took place. The Tielman family now performed for the Indonesians. They even performed in the palace of president Soekarno in Djakarta. When they grew older they started to cover the top hits in perfect close harmony. In 1951 they were introduced to Guitar Boogie of Arthur Smith. Andy later told in an interview: ‘this was the first song which my brothers and I converted into rock ‘n roll by adding drums to it’. Later they started playing number of Les Paul, Elvis Presley, Little Richard, Bill Haley, Fats Domino, Chuck Berry and Gene Vincent. Andy also played together with Dolf de Vries in the band THE STARLIGHTS in Djakarta. Also on Sumatra he played without his brothers in the Hawaiian band of Freddy Wehner.
 
THE TIMOR RHYTHM BROTHERS –THE FOUR TIELMAN BROTHER-THE 4 T’s (Breda 1957-1959)
Andy Tielman (lead guitar, vocals)
Reggy Tielman (2nd lead guitar, vocals)
Ponthon Tielman (double bass, vocals)
Loulou Tielman (drums, vocals).

The 4 T's showing their brandnew Miller and Wilson guitars. (Breda 1957)
 
At a certain moment they were offered an extensive tour throughout Indonesia, but only on condition that they should change their Dutch nationality into Indonesian. In the opinion of Herman Tielman his children would have a better future in the Netherlands and in 1957 the family repatriated to Holland by boat. Ponthon was already repatriated  one year earlier and lived with his wife in Bussum.
After arrival in Holland they were settled in Breda in boarding house Smulders at the Baronielaan. They possessed only of a small suitcase with thin tropical cloths and they were confrontated with the cold Dutch winter. Luckily the DMZ (Military Affairs Service) supplied them with warm clothings. Edu Schalk - later singer with the Poetiray Brothers from Oosterhout- was their first Indonesian friend in Breda. The brothers went to the music shop Spronk in Breda and after they had convinced the owner of their great talents with their version of Bye Bye Love by The Everly Brothers, they were allowed to buy the most expensive guitars from the shop at instalment purchase. That became the legendary big white Miller guitars and a sunburst Wilson guitar. These were products of the Egmond company from  Eindhoven (type ES 57). Later they also bought Egmond combo amplifiers to replace the old radio’s they were using. Their first appearances took place in Hotel De Schuur at the Catharinalaan in Breda. In the beginning they performed as the TIMOR RHYTM BROTHERS but soon they called themselves THE FOUR TIELMAN BROTHERS or THE 4 T’s. They soon went famous in Breda and started gigging other places in the province Brabant like Kamp Lunetten in Vught and dancing De Cosmopoliet in ‘s Hertogenbosch.

The Four Tielman Brothers on stage (Haagsche Dierentuin, The Hague ca.1957/1958)
The big aluminium balls of the Atomium in Brussels, Belgium still remember us of the world exebition Expo 58, which was held from the 17th April until the 19th October. At that time Hawaiian music was very popular in Europe and as a part of the Attraction Park a Hawaiian Village was created. With a decoration of palm trees, a blue sky and exotic plants and flowers Rudi Wairata (steel guitarist) and Mike Anoi (Guus 'broer' Arends) and their Hawaiian band played as main act. Several Dutch bands appeared and also THE FOUR TIELMAN BROTHERS were invited by Mr. Morisson from the organisation of the Hawaiian Village. They were allowed to fill a  break of 20 minutes. They gave a spectacular rock ‘n roll show as never in Europe performed before. Andy played guitar with his foot, the guitars were played reverse in the neck, his guitar was played with the drumsticks of Loulou, the double bass was handled in a sheer acrobatic way and guitars were tossed between the  brothers. The 20 minutes became almost 6 months.


THE TIELMAN BROTHERS (1963-1964)
Andy Tielman( lead guitar,vocals)
Alphonse Faverey (lead guitar) ex Strangers; to The Four Beat Breakers >The Time Breakers
Reggy Tielman (2nd lead guitar, 6 string bass, vocals)
Franky Luyten (rhythm guitar, vocals) to the The Four Beat Breakers>The Time Breakers
Ponthon Tielman (bass guitar, 6 string bass, vocals) to Tielman Royal ; afterwards back to Indonesia
Loulou Tielman (drums, vocals)
Jane Tielman (vocals)
The Tielman Brothers with sister Jane and Alphonse Faverey (left)(1963)

In 1963 Andy and Reggy Tielman were involved with a severe car accident and came under a freight truck. Reggy recovered after 2 weeks, but Andy was for 4 days in coma and his arm was broken at 8 spots. His arm was put in plaster and his recovery lasted many months. As replacement Alfons Faverey joined THE TIELMAN BROTHERS. His band THE STRANGERS had split and he would remain with the band after the return of Andy. The guitar playing  was less good and Andy concentrated even more on his vocals. Nevertheless Andy created a real innovation in the guitar world. He put 4 extra banjo strings on his Jazzmaster and with this 10 string guitar he could achieve very special effects and a  big sound. The rumour goes that an employee of Fender  came to the Sputnik to watch Andy’s unique guitar. Framus and Vox  made prototypes of a 9 string guitar, probable influenced by Andy and almost all Indo- Rock bands in Germany followed Andy’s conversion of their lead guitars, Fender Jazzmasters of course. Together with Alfons they did a tour in Israel. Unfortunately no records were made during they stay of Alfons in the band.  During 1964 Franky Luyten and Alfons Faverey were drafted for the Dutch military service. Because of  disagreements Ponthon left THE TIELMAN BROTHERS  played for some time with hs own band TIELMAN ROYAL and after that he went back to Indonesia where he stayed until his decease in April 2000.
THE TIELMAN BROTHERS( 1964-1969)
Andy Tielman( lead guitar,vocals)
Reggy Tielman( 2nd lead guitar, 6 string bass, vocals)
Hans Bax( rhythm guitar, vocals)
Rob Latuperisa( bass guitar, 6 string bass)
Loulou Tielman †( drums, vocals)
Jane Tielman ( vocals)
  The Tielman Brothers with Hans Bax(left) and Rob Latuperisa (right)
 
Together with Hans Bax and Rob Latuperisa coming from the broken up  legendary Indo-Rock group THE JAVALINS started touring again in Germany again under the name THE TIELMAN BROTHERS, despite the fact that Andy himself had problems with this name. He would have preferred to continue as THE TIELMAN BAND. In this formation they recorded end of 1964 a live LP as well as a number of singes of which Hello Caterina was one of the better own compositions. This  LP contained mainly covers because the repertoire  had to be adapted more and more to due the pending trend of that period.
In 1965 they were invited to perform in the best known dancing of the Netherlands the posh Palais de Danse in Scheveningen( the seaside village of The Hague). Although they hadn’t played in Holland for years their fans came from all over the country and had to cue for the entrance well in advance, watching the sharp dressed band members arriving in their big limousines. They appeared with big success during July and August and their opening acts were the well known ZZ EN DE MASKERS and ANDY STARR & THE STRIPES. Jos Van Vliet, earlier president for THE CRAZY ROCKERS fan club and now Press Manager with Negram/Delta records invited them to the studio and the result was the beautiful album ‘East & West’, on which Andy excelled in 5 wonderful ballads like Unchained Melody, Maria and Danny Boy. Jane sang lead in Bring It On Home To Me. Reggy was the lead singer in a number of traditional Indonesian songs like Ole Sio and Kekasih Ku. The number Maria( West Side Story) was released as a single and reached with number 20 in the Dutch Top Forty its highest position in 1965. The self penned impressive instrumental Marabunta was also released in the U.S.A. on the Scepter label.

Andy was as far as we know the only famous lead guitarist who used the meanwhile very rare Vox Guitar Organ on stage in 1966. This instrument could reproduce organ- and guitar sounds. With its multiple controls and knobs it was not easy to play. More over this organ guitar could only be played with an electronic plectrum which was connected with the PC boards of the guitar. This organ guitar soon disappeared from the market, but once again Andy Tielman proofed to be a true innovator in guitar sound.
Until 1967 they recorded  for the German Ariola label, but the typical Tielman style was most of the times far gone. In 1967 they had totally unexpected their biggest hit in their career. Little Bird was recorded in 1967 in the Netherlands and reached the number 7 in the Dutch Top Fourty. The record was released in the U.S.A. on the Ranwood label.
There after followed a period of constantly changing formations and they appeared as ANDY TIELMAN & THE TIELMAN BROTHERS. The typical Tielman sound even further disappeared and only in 1979 Andy would show something of his old glory. Especially the instrumental Sarinandé made quite an impact  and it was very remarkable tot see at last a LP with 4 instrumental numbers, after all these were the real roots of the Tielman Brothers.
  Andy Tielman & The Tielman Brothers in de 70's
Andy with Vox Mando-Guitar (12-string elec. mandolin). Behind him a Vox AC 100 De Luxe and Fender XII